Sabtu, 21 Mei 2011

pengelolaan kelas

PENGELOLAAN KELAS

Sekolah sebagai organisasi kerja terdiri dari beberapa kelas, baik yang bersifat paralel maupun yang menunjukkan penjenjangan. Setiap kelas merupakan untuk kerja yang berdiri sendiri dan berkedudukan sebagai sub sistem yang menjadi bagian dari sebuah sekolah sebagai total sistem. Pengembangan sekolah sebagai total sistem atau satu kesatuan organisasi, sangat tergantung pada penyelenggaraan dan pengelolaan kelas. Baik di lingkungan kelas masing-masing sebagai unit kerja yang berdiri sendiri maupun dalam hubungan kerja antara kelas yang satu dengan kelas yang lain.
Oleh karena itu setiap guru kelas atau wali kelas sebagai pimpinan menengah (middle manager) atau administrator kelas, menempati posisi dan peran yang penting, karena memikul tanggung jawab mengembangkan dan memajukan kelas masing-masing yang berpengaruh pada perkembangan dan kemajuan sekolah secara keseluruhan, setiap murid dan guru yang menjadi komponen penggerak aktivitas kelas, harus didayagunakan secara maksimal agar sebagai suatu kesatuan setiap kelas menjadi bagian yang dinamis di agar sebagai suatu kesatuan setiap kelas menjadi bagian yang dinamis di dalam organisasi sekolah.
Dari uraian di atas jelas bahwa program kelas akan berkembangan bilamana guru/wali kelas mendayagunakan secara maksimal potensi kelas yang terdiri dari tiga unsur yakni: guru, murid dan proses atau dinamika kelas.
1. Kelas dalam arti sempit yakni ruangan yang dibatasi oleh empat dinding, tempat sejumlah siswa berkumpul untuk mengikuti proses mengajar belajar. Kelas dalam pengertian tradisional ini mengandung sifat statis karena sekedar menunjuk pengelompokan pada batas umur kronologis masing-masing.
2. Kelas dalam arti luas adalah suatu masyarakat kecil yang merupakan bagian dari masyarakat sekolah, yang sebagai satu kesatuan diorganisir menjadi unit kerja yang secara dinamis menyelenggarakan kegiatan-kegiatan mengajar belajar yang keratif untuk mencapai suatu tujuan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi perwujudan management kelas dalam pengertian kelas adalah:
a. Kurikulum
b. Bangunan dan Sarana
c. Guru
d. Murid
e. Dinamika Kelas
f. Lingkungan Sekitar
Keenam faktor tersebut tidak berdiri sendiri, akan tetapi saling bertautan atau saling mempengaruhi, walaupun untuk kepentingan uraian secara teoritis akan diketengahkan satu persatu di bawah ini.
A. Kurikulum
Sebuah kelas tidak boleh sekedar diartikan sebagai tempat siswa berkumpul untuk mempelajari sejumlah ilmu pengetahuan. Demikian juga sebuah sekolah bukanlah sekedar sebuah gedung tempat murid mencari dan mendapatkan ilmu pengetahuan. Sekolah dan kelas diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mendidik anak-anak, yang tidak hanya harus didewasakan dari aspek intelektualnya saja, akan tetapi dalam seluruh aspek kepribadiannya. Untuk itu bagi setiap tingkat dan jenis sekolah diperlukan kurikulum yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dalam perkembangannya. Kurikulum yang dipergunakan di sekolah sangat besar pengaruhnya terhadap aktivitas kelas dalam mewujudkan proses belajar mengajar yang berdaya guna bagi pembentukan pribadi siswa. Dengan kata lain aktivitas sebuah kelas sangat dipengaruhi oleh kurikulum yang dipergunakan di sekolah. Suatu kelas akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat apabila kurikulum yang dipergunakan di sekolah dirancangkan sesuai dengan dinamika masyarakat.
Sekolah yang kurikulumnya dirancangkan secara tradisional akan mengakibatkan aktivitas kelas berlangsung secara statis. Kurikulum tradisional diartikan sebga sejumlah materi pengetahuan dan kebudayaan hasil masa lalu yang harus dikuasai murid untuk mencapai suatu tingkat tertentu, yang dinyatakan dengan ketentuan kenaikan kelas atau pemberian ijazah kepada murid tersebut. Di dalam kurikulum seperti itu mata pelajaran diberikan secara terpisah-pisah (subject certerd curriculum0 yang pada umumnya bersifat intelektualistis.
Sekolah yang diselenggarkan dengan kurikulum modern pada dasarnya akan mampu menyelenggarakan kegiatan kelas yang bersifat dinamis. Kurikulum modern diartikan sebagai semua kegiatan yang berpengaruh pada pembentukan pribadi murid, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas/sekolah, termasuk di dalamnya lingkungan sekitar yang bersifat non edukatif seperti warung sekolah, pesuruh, kondisi bangunan dan sarana sekolah lainnya, masjid/Gereja d an lain-lain.
Kedua kurikulum tersebut di atas kurang serasi dengan kondisi masyarakat Indonesia yang memiliki pandangan hidup Pancasila. Di satu pihak kurikulum tradisional yang berpusat pada guru akan diwarnai dengan sikap otoriter yang mematikan inisiatif dan kreativitas murid. Kurikulum itu tidak akan mampu memenuhi tuntutan pembentukan pribadi berdasarkan minat, bakat, kemampuan dan sifat-sifat kepribadian yang berbeda-beda. Antara murid yang satu dengan murid yang lain dalam satu kelas. Segala sesuatu yang menyangkut isi kurikulum untuk dilaksanakan di kelas sudah diatur dan ditetapkan oleh pihak instansi atasan, yang bahkan menutup kemungkinan guru mengembangkan kegiatan berdasarkan inisiatif dan krativitasnya sesuai dengan kebutuhan anak-anak dan masyarakat sekitar. Dipihak lain kurikulum modern yang menekankan pada perkembangan individu secara maksimal, akan mencerminkan kebebasan atas dasar demokrasi liberal sehingga tidak memungkinkan diselenggarakannya secara efektif kegiatan belajar secara klasikal untuk pengembangan pribadi sebagai makhluk sosial dan makhluk Tuhan Yang maha Esa.
Oleh karena itu diperlukan usaha mengintegrasikan kedua kurikulum tersebut dalam kehidupan lembaga pendidikan formal di Indonesia agar serasi dengan kebutuhan dan dinamika masyarakat. Kurikulum harus dirancang sebagai sejumlah pengalaman edukatif yang menjadi tanggungjawab sekolah dalam membantu anak-anak mencapai tujuan pendidikannya, yang diselenggarakan secara berencana, sistematik dan terarah serta terorganisir. Sekolah yang dirancang dengan kurikulum seperti itu, memungkinkan kegiatan kelas tidak sekedar dipusatkan pada penyampaian sejumlah materi pelajaran/pengetahuan yang bersifat intellectualistic, akan tetapi juga memperhatikan aspek pembentukan pribadi, baik sebagai makhluk individual dan makhluk sosial maupun sebagai makhluk bermoral.
Dengan kurikulum seperti disebutkan terakhir berarti isi pendidikan di dalam kegiatan kelas untuk setiap jenjang/tingkat sekolah harus dirancangkan sebagai berikut:
1. Tingkat Taman Kanak-Kanak
Kurikulum pada tingkat ini harus dirancang untuk memungkinkan kelas menyelenggarakan kegiatan agar anak-anak belajar bergaul, belajar mempergunakan alat-alat yang sederhana, memperoleh ketrampilan dasar atau tingkat permulaan dan dapat bekerja sama dalam bermain walaupun pada tingkat ini kecenderungan dalam bermain masih bersifat individual.
2. Tingkat Sekolah Dasar
Kurikulum pada tingkat ini pada tahap permulaan atau kelas-kelas rendah harus dirancangkan untuk memungkinkan kelas melanjutkan kegiatan-kegiatan atau program-program di taman kanak-kanak. Selanjutnya sesuai dengan kematangan anak-anak, secara bertahap kurikulum harus dengan kematangan anak-anak, secara bertahap kurikulum harus dikembangkan juga untuk mempelajari fakta-fakta pengetahuan yang sederhana, pengembangan kebiasaan berpikir secara kreatif dan pembentukan watak berdasarkan sistem nilai-nilai tertentu. Untuk itu dapat dilaksanakan berbagai kegiatan kelas baik yang dilakukan secara individual maupun secara bersama-sama.
3. Sekolah Lanjutan/menengah
Kurikulum pada tingkat ini harus dirancangkan untuk memungkinkan diselenggarakannya kegiatan kelas dalam memenuhi kebutuhan melakukan eksplorasi dan eksperimentasi guna memberikan pengalaman intelektual dan sosial yang terpadu dalam rangka realisasi diri.
4. Tingkat Perguruan Tinggi
Kurikulum pada tingkat ini dirancangkan untuk memungkinkan kelas menyelenggarakan kegiatan membantu perkembangan individual secara maksimal dalam rangka menguasai keahlian profesional tertentu.
B. Bangunan dan Sarana
Perencanaan dalam membangun sebuah gedung untuk sebuah sekolah berkenaan dengan jumlah dan luas setiap ruangan, letak dan dekorasi nya yang harus disesuaikan dengan kurikulum yang dipergunakan. Akan tetapi karena kurikulum selalu dapat berubah sedangkan ruang/gedung bersifat permanen, maka diperlukan kreativitas dalam mengatur pendayagunaan ruang/gedung yang tersedia berdasarkan kurikulum yang dipergunakan.
Sekolah yang mempergunakan kurikulum tradisional pengaturan ruangan bersifat sederhana karena kegiatan belajar mengajar diselenggarakan di kelas yang tatap untuk sejumlah murid yang sama tingkatannya.
Bagi sekolah yang mempergunakan kurikulum modern, ruangan kelas diatur menurut jenis kegiatan berdasarkan program-program yang telah dikelompokkan secara integrated. Di samping ruangan disusun berdasarkan bidang studi yang bersifat integrated itu disediakan juga ruangan untuk kegiatan bersama berupa ruang kelas untuk mendengarkan ceramah dan ruangan lain seperti perpustakaan, ruang olahraga dan lain-lain.
Bagi sekolah yang mempergunakan kurikulum gabungan pada umumnya ruangan kelas masih diatur menurut keperluan kelompok murid sebagai satu kesatuan menurut jenjang dan pengelompokan kelas secara permanen. Ruang khusus biasanya disediakan secara terbatas berupa laboratorium, perpustakaan, sebuah aula untuk kegiatan olah raga, kesenian dan kegiatan ekstra kelas lainnya.
Dari uraian-uraian di atas jelas bahwa bagi sekolah yang mempergunakan kurikulum tradisional dan kurikulum gabungan (tradisional dan modern), jumlah kelas sangat dipengaruhi oleh perencanaan penerimaan murid atau jumlah murid yang dimiliki. Oleh karena itu dalam rencana pembangunan gedung atau penambahan ruang kelas, diperlukan catatan kependudukan yang teliti dengan memperkirakan juga berapa jumlah yang telah terserap oleh sekolah lain dalam suatu wilayah tertentu.
Untuk mendirikan sebuah sekolah diperlukan perencanaan yang fisibel (layak) sebagai hasil penelitian atau survey yang teliti terutama untuk memperoleh lokasi yang tepat. Penelitian itu selain mengenai aspek kependudukan harus dilakukan juga terhadap situasi lingkungan, kondisi tanah, pendapat masyarakat, kemungkinan berkomunikasi dengan sumber-sumber kependidikan di lingkungan sekitar yang sesuai dengan kurikulum/program yang akan dilaksanakan dan lain-lain.
Setelah sebuah gedung sekolah berdiri diperlukan sarana belajar mengajar yang dapat menunjang efisiensi perwujudan kurikulum/program sekolah atau kelas perlengkapan minimal bagi sebuah sekolah yang mempergunakan salah satu bentuk kurikulum tersebut di atas adalah meja dan kuris murid. Meja dan kuris guru, papan tulis dan kapur tulis. Selanjutnya bagi sekolah yang mempergunakan kurikulum tradisional dan kurikulum gabungan (tradisional dan modern) sekurang-kurangnya diperlukan sejumlah alat peraga sedang bagi sekolah yang mempergunakan kurikulum modern diperlukan saran yang lebih banyak lagi sesuai dengan jenis program yang menjadi tanggung jawabnya.

C. Guru
Program kelas tidak akan berarti bilamana tidak diwujudkan menjadi kegiatan. Untuk itu peranan guru sangat menentukan karena kedudukannya sebagai pemimpin pendidikan diantara murid-murid suatu kelas . secara etimologi atau dalam arti sempit guru yang berkewajiban mewujudkan suatu program kelas adalah orang yang kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah atau kls. Secara lebih luas guru berarti orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak-anak untuk mencapai kedewasaan masing-masing. Guru dalam pengertian terakhir bukan sekedar orang yang berdiri di depan kels untuk menyampaikan materi pengetahuan tertentu, akan tetapi adalah anggota masyarakat yang harus ikut aktif dan berjiwa bebas serta kratif dalam mengarahkan perkembangan akan didik nya. Untuk menjadi anggota masyarakat sebagai orang dewasa.
Setiap guru harus memahami fungsinya karena sangat besar pengaruhnya terhadap cara bertindak dan berbuat dalam menunaikan pekerjaan sehari-hari di sekolah maupun di kelas. Pengetahuan dan pemahamannya tentang kompetensi guru akan mendasari pola kegiatannya dalam menunaikan profesi sebagai guru. Kompetensi guru yang dimaksud antara lain mengenai kompetensi-komptensi pribadi, kompetensi profesi dan kompetensi kemasyarakatan. Kompetensi itu berkenaan dengan kemampuan dasar teknis edukatif dan administratif sebagai berikut:
1. Penguasaan bahan
2. Pengelolaan program belajar mengajar
3. mengelola kelas
4. Penggunaan media/sumber
5. Mampu mengelola dan mempergunakan intraksi belajar mengajar
6. Memiliki kemampuan melakukan penilaian prestasi belajar siswa secara obyektif.
7. Memahami fungsi dan program layanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah.
Setiap guru sebagai petugas profesional ikut bertanggung jawab pada tercapainya tujuan pendidikan secara efektif. Oleh karena itu guru harus ikut dalam menentukan kebijakan kependidikan di kelas/sekolah.
Guru yang memahami kedudukan dan fungsinya sebagai pendidik profesional, selalu terdorong untuk tumbuh dan berkembang sebagai perwujudan perasaan dan sikap tidak puas terhadap pendidik persiapan yang telah diterimanya. Dan sebagai pernyataan dari kesadarannya terhadap perkembangan dan kemajuan bidang tugasnya yang harus diikuti, sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.


D. Murid
Murid merupakan potensi kelas yang harus dimanfaatkan guru dalam mewujudkan proses belajar mengajar yang efektif. Murid adalah anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun psikologis dalam rangka mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan formal, khusus nya berupa sekolah.
Murid sebagai unsur kelas memiliki perasaan kebersamaan yang sangat penting artinya bagi terciptanya situasi kelas yang dinamis. Setiap murid harus memiliki perasaan diterima (membership) terhadap kelasnya agar mampu ikut serta dalam kegiatan kelas.
Kelas merupakan unit tersendiri yang pengelolaannya secara maksimal harus dilakukan dengan mengikutsertakan murid. Pengelolaan kelas yang berhasil akan menumbuhkan kebanggaan kelas sehingga meningkatkan rasa solidaritas dan keinginan untuk ikut berpartisipasi di kalangan murid di kelas tersebut.

E. Dinamika Kelas
Kelas adalah kelompok sosial yang dinamis yang harus dipergunakan oleh setiap wali/guru kelas untuk kepentingan murid dalam kependidikannya. Dinamika kelas pada dasarnya berarti kondisi kelas. Yang meliputi dorongan untuk aktif secara terarah yang dikembangkan melalui kreatifitas dan inisiatif murid sebagai suatu kelompok.
Dinamika kelas dipengaruhi oleh cara wali/guru kelas menerapkan administrasi pendidikan dan kepemimpinan pendidikan serta dalam mempergunakan pendekatan pengelolaan kelas, penerapan kegiatan itu antara lain sebagai berikut.
1. Kegiatan administratif management
Pengelolaan kelas memerlukan tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, koordinasi, komunikasi dan kontrol sebagai langkah-langkah kegiatan management admnistratif.
2. Kegiatan Operatif management kelas
Kegiatan management administratif kelas harus ditunjang dengan kegiatan management operatif agar seluruh program kelas berlangsung efektif bagi pencapaian tujuan. Kegiatan management operatif kelas meliputi
a. Tata usaha kelas
b. Kegiatan Pembekalan kelas
c. Kegiatan keuangan kelas
d. Kegiatan pembinaan personal atau kepegawaian dikelas.
e. Humas dilingkungannya kelas
3. Kepemimpinan wali/guru kelas
Dinamika kelas dipengaruhi secara langsung oleh kepemimpinan wali atau guru kelas, untuk itu kepemimpinan diartikan sebagai proses mengarahkan, membimbing, mempengaruhi, atau mengawasi pikiran, perasaan atau tindakan dan tingkah laku orang lain.
Tiga bentuk kepemimpinan mungkin diwujudkan wali/guru kelas dalam usaha menggerakkan personal di lingkungan kelas masing-masing adalah:
a. Wali atau guru kelas sebagai pemimpin yang bersifat otoriter
b. Wali atau guru kelas sebagai pemimpin yang bersifat laissez faire.
c. Wali atau guru kelas sebagai pemimpin yang bersifat demokratif

4. Disiplin kelas
Disiplin kelas merupakan bagian yang penting dalam dinamika kelas, disiplin kelas diartikan sebagai usaha mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah disetujui bersama dalam melaksanakan kegiatan kelas, agar pemberian hukuman pada seorang atau sekelompok orang dapat dihindari.
Disiplin kelas dapat diartikan juga sebagai suasana tertib dan terpaut akan tetapi penuh dinamika dalam melaksanakan program kelas terutama dalam mewujudkan proses belajar mengajar.
5. Beberapa pendekatan dalam pengelolaan kelas
Seorang wali atau guru kelas harus mampu menetapkan pilihan yang tepat dalam melakukan pendekatan untuk mewujudkan pengelolaan kelas yang efektif. Untuk memperjelas masalah pendekatan yang akan dipergunakan itu, di bawah ini akan diketengahkan beberapa alternatif yang dapat dipilih diantaranya:
a. Pendekatan berdasarkan perubahan tingkah laku (behaviorisme)
b. Pendekatan berdasarkan suasana emosi dan hubungan sosial (sosio emosional climate approach)
c. Pendekatan berdasarkan proses kelompok (group process approach)
d. Pendekatan electis (electic approach)

prinsip pengelolaan kelas

Prinsip-Prinsip Pengelolaan Kelas

“Secara umum faktor yang mempengaruhi pengelolaan kelas dibagi menjadi dua golongan yaitu, faktor intern dan faktor ekstern siswa.” (Djamarah 2006:184). Faktor intern siswa berhubungan dengan masalah emosi, pikiran, dan perilaku. Kepribadian siswa denga ciri-ciri khasnya masing-masing menyebabkan siswa berbeda dari siswa lainnya sacara individual. Perbedaan sacara individual ini dilihat dari segi aspek yaitu perbedaan biologis, intelektual, dan psikologis.

Faktor ekstern siswa terkait dengan masalah suasana lingkungan belajar, penempatan siswa, pengelompokan siswa, jumlah siswa, dan sebagainya. Masalah jumlah siswa di kelas akan mewarnai dinamika kelas. Semakin banyak jumlah siswa di kelas, misalnya dua puluh orang ke atas akan cenderung lebih mudah terjadi konflik. Sebaliknya semakin sedikit jumlah siswa di kelas cenderung lebih kecil terjadi konflik.

Djamarah (2006:185) menyebutkan “Dalam rangka memperkecil masalah gangguan dalam pengelolaan kelas dapat dipergunakan.” Prinsip-prinsip pengelolaan kelas yang dikemukakan oleh Djamarah adalah sebagai berikut.

a. Hangat dan Antusias
Hangat dan Antusias diperlukan dalam proses belajar mengajar. Guru yang hangat dan akrab pada anak didik selalu menunjukkan antusias pada tugasnya atau pada aktifitasnya akan berhasil dalam mengimplementasikan pengelolaan kelas.

b. Tantangan
Penggunaan kata-kata, tindakan, cara kerja, atau bahan-bahan yang menantang akan meningkatkan gairah siswa untuk belajar sehingga mengurangi kemungkinan munculnya tingkah laku yang menyimpang.

c. Bervariasi
Penggunaan alat atau media, gaya mengajar guru, pola interaksi antara guru dan anak didik akan mengurangi munculnya gangguan, meningkatkan perhatian siswa. Kevariasian ini merupakan kunci untuk tercapainya pengelolaan kelas yang efektif dan menghindari kejenuhan.

d. Keluwesan
Keluwesan tingkah laku guru untuk mengubah strategi mengajarnya dapat mencegah kemungkinan munculnya gangguan siswa serta menciptakan iklim belajarmengajar yang efektif. Keluwesan pengajaran dapat mencegah munculnya gangguan seperti keributan siswa, tidak ada perhatian, tidak mengerjakan tugas dan sebagainya.

e. Penekanan pada Hal-Hal yang Positif
Pada dasarnya dalam mengajar dan mendidik, guru harus menekankan pada hal-hal yang positif dan menghindari pemusatan perhatian pada hal-hal yang negative. Penekanan pada hal-hal yang positif yaitu penekanan yang dilakukan guru terhadap tingkah laku siswa yang positif daripada mengomeli tingkah laku yang negatif. Penekanan tersebut dapat dilakukan dengan pemberian penguatan yang positif dan kesadaran guru untuk menghindari kesalahan yang dapat mengganggu jalannya proses belajar mengajar.

f. Penanaman Disiplin Diri
Tujuan akhir dari pengelolaan kelas adalah anak didik dapat mengembangkan dislipin diri sendiri dan guru sendiri hendaknya menjadi teladan mengendalikan diri dan pelaksanaan tanggung jawab. Jadi, guru harus disiplin dalam segala hal bila ingin anak didiknya ikut berdisiplin dalam segala hal.

Kamis, 24 Juni 2010

Tujuan Pembelajaran sebagai Komponen Penting dalam Pembelajaran

Kegiatan menyusun rencana pembelajaran merupakan salah satu tugas penting guru dalam memproses pembelajaran siswa. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional yang dituangkan dalam Permendiknas RI No. 52 Tahun 2008 tentang Standar Proses disebutkan bahwa salah satu komponen dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yaitu adanya tujuan pembelajaran yang di dalamnya menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar.

Agar  proses pembelajaran dapat terkonsepsikan dengan baik, maka seorang guru dituntut untuk mampu menyusun dan merumuskan tujuan pembelajaran secara jelas dan tegas. Oleh karena itu, melalui tulisan yang sederhana ini akan dikemukakan secara singkat tentang apa dan bagaimana merumuskan tujuan pembelajaran. Dengan harapan dapat memberikan pemahaman kepada para guru dan calon guru agar dapat merumuskan tujuan pembelajaran secara tegas dan jelas dari mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya..

B. Apa Tujuan Pembelajaran itu?

Salah satu sumbangan terbesar dari aliran psikologi behaviorisme terhadap pembelajaran bahwa pembelajaran seyogyanya memiliki tujuan. Gagasan perlunya tujuan dalam pembelajaran pertama kali dikemukakan oleh B.F. Skinner pada tahun 1950. Kemudian diikuti oleh Robert Mager pada tahun 1962 yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Preparing Instruction Objective. Sejak pada tahun 1970 hingga sekarang penerapannya semakin meluas hampir di seluruh lembaga pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia.

Merujuk pada tulisan Hamzah B. Uno (2008) berikut ini dikemukakan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli. Robert F. Mager (1962) mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran adalah perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi dan tingkat kompetensi tertentu. Kemp (1977) dan David E. Kapel (1981) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan. Henry Ellington (1984) bahwa tujuan pembelajaran adalah pernyataan yang diharapkan dapat dicapai sebagai hasil belajar. Sementara itu, Oemar Hamalik (2005) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran adalah suatu deskripsi mengenai tingkah laku yang diharapkan tercapai oleh siswa setelah berlangsung pembelajaran .

Meski para ahli memberikan rumusan tujuan pembelajaran yang beragam, tetapi semuanya menunjuk pada esensi yang sama, bahwa : (1) tujuan pembelajaran adalah tercapainya perubahan perilaku atau kompetensi pada siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran; (2) tujuan dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau deskripsi yang spesifik.  Yang menarik untuk digarisbawahi  yaitu dari pemikiran Kemp dan David E. Kapel bahwa perumusan tujuan pembelajaran harus diwujudkan dalam bentuk tertulis. Hal ini mengandung implikasi bahwa setiap perencanaan pembelajaran seyogyanya dibuat secara tertulis (written plan).

Upaya merumuskan tujuan pembelajaran dapat memberikan manfaat tertentu, baik bagi guru maupun siswa. Nana Syaodih Sukmadinata (2002) mengidentifikasi 4 (empat) manfaat dari tujuan pembelajaran, yaitu: (1) memudahkan dalam mengkomunikasikan maksud kegiatan belajar mengajar kepada siswa, sehingga siswa dapat melakukan perbuatan belajarnya secara lebih mandiri; (2) memudahkan guru memilih dan menyusun bahan ajar; (3) membantu memudahkan guru menentukan kegiatan belajar dan media pembelajaran; (4) memudahkan guru mengadakan penilaian.

Dalam Permendiknas RI No. 52 Tahun 2008 tentang Standar Proses disebutkan bahwa tujuan pembelajaran memberikan petunjuk untuk memilih isi mata pelajaran, menata urutan topik-topik, mengalokasikan waktu, petunjuk dalam memilih alat-alat bantu pengajaran dan prosedur pengajaran, serta menyediakan ukuran (standar) untuk mengukur prestasi belajar siswa.

B . Bagaimana Merumuskan Tujuan Pembelajaran?

Seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran, saat ini telah terjadi pergeseran dalam perumusan tujuan pembelajaran. W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) mengemukakan pada masa lampau guru diharuskan menuliskan tujuan pembelajarannya dalam bentuk bahan yang akan dibahas dalam pelajaran, dengan menguraikan topik-topik atau konsep-konsep yang akan dibahas selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Tujuan pembelajaran pada masa lalu ini tampak lebih mengutamakan pada pentingnya penguasaan bahan bagi siswa dan pada umumnya yang dikembangkan melalui pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered). Namun seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran, tujuan pembelajaran yang semula lebih memusatkan pada penguasaan bahan, selanjutnya bergeser menjadi penguasaan kemampuan siswa atau biasa dikenal dengan sebutan penguasaan kompetensi atau performansi. Dalam praktik pendidikan di Indonesia, pergeseran tujuan pembelajaran ini terasa lebih mengemuka sejalan dengan munculnya gagasan penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Selanjutnya, W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) menegaskan bahwa seorang guru profesional harus merumuskan tujuan pembelajarannya dalam bentuk perilaku siswa yang dapat diukur yaitu menunjukkan apa yang dapat dilakukan oleh siswa tersebut sesudah mengikuti pelajaran.

Berbicara tentang perilaku siswa sebagai tujuan belajar, saat ini para ahli pada umumnya sepakat untuk menggunakan pemikiran dari Bloom (Gulo, 2005) sebagai tujuan pembelajaran. Bloom mengklasifikasikan perilaku individu ke dalam tiga ranah atau kawasan, yaitu: (1) kawasan kognitif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek intelektual atau berfikir/nalar, di dakamnya mencakup: pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), penguraian (analysis), memadukan (synthesis), dan penilaian (evaluation); (2) kawasan afektif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya, di dalamnya mencakup: penerimaan (receiving/attending), sambutan (responding), penilaian (valuing), pengorganisasian (organization), dan karakterisasi (characterization); dan (3) kawasan psikomotor yaitu kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot (neuronmuscular system) dan fungsi psikis. Kawasan ini terdiri dari : kesiapan (set), peniruan (imitation, membiasakan (habitual), menyesuaikan (adaptation) dan menciptakan (origination). Taksonomi ini merupakan kriteria yang dapat digunakan oleh guru untuk mengevaluasi mutu dan efektivitas pembelajarannya.

Dalam sebuah perencanaan pembelajaran tertulis (written plan/RPP), untuk merumuskan tujuan pembelajaran tidak dapat dilakukan secara sembarangan, tetapi harus memenuhi beberapa kaidah atau kriteria tertentu. W. James Popham dan Eva L. Baker (2005)Â menyarankan dua kriteria yang harus dipenuhi dalam memilih tujuan pembelajaran, yaitu: (1) preferensi nilai guru yaitu cara pandang dan keyakinan guru mengenai apa yang penting dan seharusnya diajarkan kepada siswa serta bagaimana cara membelajarkannya; dan (2) Â analisis taksonomi perilaku sebagaimana dikemukakan oleh Bloom di atas. Dengan menganalisis taksonomi perilaku ini, guru akan dapat menentukan dan menitikberatkan bentuk dan jenis pembelajaran yang akan dikembangkan, apakah seorang guru hendak menitikberatkan pada pembelajaran kognitif, afektif ataukah psikomotor.

Menurut Oemar Hamalik (2005) bahwa komponen-komponen yang harus terkandung dalam tujuan pembelajaran, yaitu (1) perilaku terminal, (2) kondisi-kondisi dan (3) standar ukuran. Hal senada dikemukakan Mager (Hamzah B. Uno, 2008) bahwa tujuan pembelajaran sebaiknya mencakup tiga komponen utama, yaitu: (1) menyatakan apa yang seharusnya dapat dikerjakan siswa selama belajar dan kemampuan apa yang harus dikuasainya pada akhir pelajaran; (2) perlu dinyatakan kondisi dan hambatan yang ada pada saat mendemonstrasikan perilaku tersebut; dan (3) perlu ada petunjuk yang jelas tentang standar penampilan minimum yang dapat diterima.

Berkenaan dengan perumusan tujuan performansi, Dick dan Carey (Hamzah Uno, 2008) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran terdiri atas: (1) tujuan harus menguraikan apa yang akan dapat dikerjakan atau diperbuat oleh anak didik; (2) menyebutkan tujuan, memberikan kondisi atau keadaan yang menjadi syarat yang hadir pada waktu anak didik berbuat; dan (3) menyebutkan kriteria yang digunakan untuk menilai unjuk perbuatan anak didik yang dimaksudkan pada tujuan

Telah dikemukakan di atas bahwa tujuan pembelajaran harus dirumuskan secara jelas. Dalam hal ini Hamzah B. Uno (2008) menekankan pentingnya penguasaan guru tentang tata bahasa, karena dari rumusan tujuan pembelajaran itulah dapat tergambarkan konsep dan proses berfikir guru yang bersangkutan dalam menuangkan idenya tentang pembelajaran.

Pada bagian lain, Hamzah B. Uno (2008) mengemukakan tentang teknis penyusunan tujuan pembelajaran dalam format ABCD. A=Audience (petatar, siswa, mahasiswa, murid dan sasaran didik lainnya), B=Behavior (perilaku yang dapat diamati sebagai hasil belajar), C=Condition (persyaratan yang perlu dipenuhi agar perilaku yang diharapkan dapat tercapai, dan D=Degree (tingkat penampilan yang dapat diterima)

C. Simpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1. Seorang guru dalam merencanakan pembelajaran dituntut untuk dapat merumuskan tujuan pembelajaran secara tegas dan jelas.
2. Perumusan tujuan pembelajaran dapat memberikan manfaat tertentu bagi guru maupun siswa
3. Saat ini telah terjadi pergeseran dalam merumuskan tujuan pembelajaran dari penguasaan bahan ke penguasan performansi.
4. Tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan.
5. Tujuan pembelajaran seyogyanya dirumuskan secara jelas, yang didalamnya mencakup komponen: Audience, Behavior, Condition dan Degree

Merumuskan Tujuan Pembelajaran?

Merumuskan Tujuan Pembelajaran?
Seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran, saat ini telah terjadi pergeseran dalam perumusan tujuan pembelajaran. W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) mengemukakan pada masa lampau guru diharuskan menuliskan tujuan pembelajarannya dalam bentuk bahan yang akan dibahas dalam pelajaran, dengan menguraikan topik-topik atau konsep-konsep yang akan dibahas selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Tujuan pembelajaran pada masa lalu ini tampak lebih mengutamakan pada pentingnya penguasaan bahan bagi siswa dan pada umumnya yang dikembangkan melalui pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered). Namun seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran, tujuan pembelajaran yang semula lebih memusatkan pada penguasaan bahan, selanjutnya bergeser menjadi penguasaan kemampuan siswa atau biasa dikenal dengan sebutan penguasaan kompetensi atau performansi.
Dalam praktik pendidikan di Indonesia, pergeseran tujuan pembelajaran ini terasa lebih mengemuka sejalan dengan munculnya gagasan penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Kendati demikian, di lapangan kegiatan merumuskan tujuan pembelajaran seringkali dikacaukan dengan perumusan indikator pencapaian kompetensi. Sri Wardani (2008) bahwa tujuan pembelajaran merupakan target pencapaian kolektif, karena rumusan tujuan pembelajaran dapat dipengaruhi oleh desain kegiatan dan strategi pembelajaran yang disusun guru untuk siswanya. Sementara rumusan indikator pencapaian kompetensi tidak terpengaruh oleh desain ataupun strategi kegiatan pembelajaran yang disusun guru, karena rumusannya lebih bergantung kepada karakteristik Kompetensi Dasar yang akan dicapai siswa. Di samping terdapat perbedaan, keduanya memiliki titik persamaan yaitu memiliki fungsi sebagai acuan arah proses dan hasil pembelajaran.
Terlepas dari kekacauan penafsiran yang terjadi di lapangan, yang pasti bahwa untuk merumuskan tujuan pembelajaran tidak dapat dilakukan secara sembarangan, tetapi harus memenuhi beberapa kaidah atau kriteria tertentu. W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) menegaskan bahwa seorang guru profesional harus merumuskan tujuan pembelajarannya dalam bentuk perilaku siswa yang dapat diukur yaitu menunjukkan apa yang dapat dilakukan oleh siswa tersebut sesudah mengikuti pelajaran. Selanjutnya, dia menyarankan dua kriteria yang harus dipenuhi dalam memilih tujuan pembelajaran, yaitu: (1) preferensi nilai guru yaitu cara pandang dan keyakinan guru mengenai apa yang penting dan seharusnya diajarkan kepada siswa serta bagaimana cara membelajarkannya; dan (2) analisis taksonomi perilaku; dengan menganalisis taksonomi perilaku ini, guru akan dapat menentukan dan menitikberatkan bentuk dan jenis pembelajaran yang akan dikembangkan, apakah seorang guru hendak menitikberatkan pada pembelajaran kognitif, afektif ataukah psikomotor.
Berbicara tentang taksonomi perilaku siswa sebagai tujuan belajar, saat ini para ahli pada umumnya sepakat untuk menggunakan pemikiran dari Bloom (Gulo, 2005) sebagai tujuan pembelajaran, yang dikenal dengan sebutan taksonomi Bloom (Bloom’s Taxonomy).
Menurut Bloom perilaku individu dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) ranah, yaitu:
1. Ranah kognitif; ranah yang berkaitan aspek-aspek intelektual atau berfikir/nalar, di dalamnya mencakup: pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), penguraian (analysis), memadukan (synthesis), dan penilaian (evaluation);
2. Ranah afektif; ranah yang berkaitan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya, di dalamnya mencakup: penerimaan (receiving/attending), sambutan (responding), penilaian (valuing), pengorganisasian (organization), dan karakterisasi (characterization); dan
3. Ranah psikomotor; ranah yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot (neuronmuscular system) dan fungsi psikis. Ranah ini terdiri dari : kesiapan (set), peniruan (imitation), membiasakan (habitual), menyesuaikan (adaptation) dan menciptakan (origination). Taksonomi ini merupakan kriteria yang dapat digunakan oleh guru untuk mengevaluasi mutu dan efektivitas pembelajarannya.
Dalam setiap aspek taksonomi terkandung kata kerja operasional yang menggambarkan bentuk perilaku yang hendak dicapai melalui suatu pembelajaran. Untuk lebih jelasnya, dalam tabel berikut disajikan contoh kata kerja operasional dari masing-masing ranah.
Merujuk pada pemikiran Bloom di atas, tampak bahwa tujuan pembelajaran seyogyanya dapat mencakup seluruh ranah perilaku individu. Artinya, tidak hanya sebatas pencapaian perubahan perilaku kognitif atau intelektual semata, yang hingga ini tampaknya masih bisa ditemukan dalam praktik pembelajaran di Indonesia.
Menurut Oemar Hamalik (2005) bahwa komponen-komponen yang harus terkandung dalam tujuan pembelajaran, yaitu (1) perilaku terminal, (2) kondisi-kondisi dan (3) standar ukuran. Hal senada dikemukakan Mager (Hamzah B. Uno, 2008) bahwa tujuan pembelajaran sebaiknya mencakup tiga komponen utama, yaitu: (1) menyatakan apa yang seharusnya dapat dikerjakan siswa selama belajar dan kemampuan apa yang harus dikuasainya pada akhir pelajaran; (2) perlu dinyatakan kondisi dan hambatan yang ada pada saat mendemonstrasikan perilaku tersebut; dan (3) perlu ada petunjuk yang jelas tentang standar penampilan minimum yang dapat diterima.
Berkenaan dengan perumusan tujuan yang berorientasi performansi, Dick dan Carey (Hamzah Uno, 2008) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran terdiri atas: (1) tujuan harus menguraikan apa yang akan dapat dikerjakan atau diperbuat oleh anak didik; (2) menyebutkan tujuan, memberikan kondisi atau keadaan yang menjadi syarat yang hadir pada waktu anak didik berbuat; dan (3) menyebutkan kriteria yang digunakan untuk menilai unjuk perbuatan anak didik yang dimaksudkan pada tujuan
Masih berkenaan dengan perumusan tujuan pembelajaran, Hamzah B. Uno (2008) menekankan pentingnya penguasaan guru tentang tata bahasa, karena dari rumusan tujuan pembelajaran itulah dapat tergambarkan konsep dan proses berfikir guru yang bersangkutan dalam menuangkan idenya tentang pembelajaran.
Pada bagian lain, Hamzah B. Uno (2008) mengemukakan tentang teknis penyusunan tujuan pembelajaran dalam format ABCD. A=Audience (petatar, siswa, mahasiswa, murid dan sasaran didik lainnya), B=Behavior (perilaku yang dapat diamati sebagai hasil belajar), C=Condition (persyaratan yang perlu dipenuhi agar perilaku yang diharapkan dapat tercapai, dan D=Degree (tingkat penampilan yang dapat diterima).
Contoh rumusan tujuan pembelajaran dalam perkuliahan mata kuliah Kurikulum dan Pembelajaran. Setelah mengikuti kegiatan perkuliahan diharapkan:
“Mahasiswa dapat menjelaskan minimal tiga prinsip dalam kegiatan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan”
Mahasiswa= Audience
Menjelaskan= Behavior
Prinsip dalam kegiatan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan = Condition
Minimal tiga prinsip= Degree
Kegiatan merumuskan tujuan pembelajaran pada dasarnya merupakan otoritas guru sepenuhnya, namun seiring dengan penerapan konsep pembelajaran demokratis dan pembelajaran partisipatif, maka dalam merumuskan tujuan pembelajaran, selain memperhatikan tuntutan kurikulum yang berlaku, seyogyanya guru dapat melibatkan siswa didalamnya. Keterlibatan siswa dalam merumuskan tujuan pembelajaran memungkinkan siswa untuk dapat lebih termotivasi dan lebih fokus mengikuti setiap kegiatan belajar dan pembelajarannya. Dalam hal ini, guru dituntut untuk memiliki keterampilan mengharmonisasikan untuk mempertemukan tujuan-tujuan pembelajaran sebagaimana digariskan dalam kurikulum dengan tuntutan kebutuhan dan tujuan belajar siswa.
C. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Seorang guru dalam merencanakan pembelajaran dituntut untuk dapat merumuskan tujuan pembelajaran secara tegas dan jelas.
2. Perumusan tujuan pembelajaran dapat memberikan manfaat tertentu bagi guru maupun siswa
3. Saat ini telah terjadi pergeseran dalam merumuskan tujuan pembelajaran dari penguasaan bahan ke penguasan performansi.
4. Tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan yang spesifik, dinyatakan dalam bentuk perilaku atau penampilan, dan diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan.
5. Tujuan pembelajaran adalah tercapainya perubahan perilaku yang menyeluruh, didalamnya tercakup perubahan perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor.
6. Tujuan pembelajaran seyogyanya dirumuskan secara jelas, dengan memperhatikan kaidah-kaidah tertentu.
Sumber:
Fitriana Elitawati .2002. Manfaat Tujuan Dalam Proses Belajar Mengajar. online : http://www.infodiknas.com/manfaat-tujuan-pembelajaran-khusus-dalam-proses-belajar-mengajar/. diakses 15 September 2009
Hamzah B. Uno.2008. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Nana Syaodih Sukmadinata. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Omar Hamalik.2005. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Bandung: Bumi Aksara
Permendiknas RI No. 52 Tahun 2008 tentang Standar Proses
Sri Wardani (2008). Perbedaan Indikator Pencapaian Kompetensi dan Tujuan Pembelajan, on line: http://p4tkmatematika.org/2008/10/perbedaan-indikator-pencapaian-kompetensi-dan-tujuan-pembelajaran-oleh-drasri-wardhani-mpd/, diakses 15 September 2009.
W. James Popham dan Eva L. Baker.2005. Teknik Mengajar Secara Sistematis (Terj. Amirul Hadi, dkk). Jakarta: Rineka Cipta.
W. Gulo. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Grasindo.

Perumusan tujuan pembelajaran

k.cTUJUAN PEMBELAJARAN
Salamah/NIM 0708218
A. Pendahuluan
Secara filosofis tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup. Pentingnya tujuan dalam proses pendidikan sama hal pentingnya pendidikan dalam proses kehidupan. Mungkin tidak ada tujuan pendidikan bagi orang yang tidak memiliki tujuan hidup. Tanpa adanya tujuan yang jelas seperti dikatakan Davies (1976:73) semua perencanaan itu bagaikan mimpi yang tak mungkin dilakukan.
Tujuan pendidikan menggambarkan tentang idealisme, cita-cita keadaan individu atau masyarakat yang dikehendaki. Karenanya tujuan merupakan salah satu hal yang penting dalam kegiatan pendidikan, sebab tidak saja memberikan arah kemana harus dituju, tetapi juga memberikan arah ketentuan yang pasti dalam memilih materi, metode, alat/media, evaluasi dalam kegiatan yang dilakukan.
Dengan sebuah rumusan tujuan pendidikan, maka proses pendidikan akan dengan mudah dinilai/diukur tingkat kebehasilannya. Keberhasilan pendidikan akan dengan mudah dan cepat dapat dilihat dari segi pecapai tujuan. Dengan tujuan juga mempermudah menyusun/menetapkan materi, metode dan alat atau media yang digunakan dalam proses pendidikan.

B. Konsep, Fungsi dan Sumber Tujuan Pendidikan

1. Konsep Tujuan Pendidikan
Menurut Zais (1976:439) komponen kurikulum adalah:







Tujuan adalah merupakan komponen utama yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum. Zais (1976:297) menegaskan bahwa sebagai komponen dalam kurikulum, tujuan merupakan bagian yang paling sensitif, sebab tujuan bukan hanya akan mempengaruhi bentuk kurikulum tetapi juga secara langsung merupakan fokus dari suatu program pendidikan.
Dalam beberapa leteratur pendidikan/kurikulum memakai beberapa istilah tujuan seperti purposes, aims, goals dan objectives untuk menunjukkan harapan pendidikan. Oliva menggunakan beberapa istilah seperti “out come, aim, end, purpose, function, goal dan objective”. Meskipun istilah-istilah ini dalam bahasa umum mempunyai persamaan, tetapi dalam bahasa pendidikan mempunyai perbedaan yang bermakna. Out come mengarah kepada harapan akhir secara umum. Sedangkan “aims” sama dengan “end”, purpose, function dan univesal goal”. Tujuan pendidikan ini sangat luas. Biasanya merupakan pernyataan tujuan pendidikan umum, yang dapat dipakai sebagai petunjuk pendidikan seluruh negara tersebut.
Beberapa istilah tujuan yang menggambarkan pada tingkat yang berbeda-beda, seperti: Aims yang menunjukkan arah umum pendidikan. Secara ideal, aims merefleksikan suatu tingkat tujuan pendidikan berdasarkan pemikiran filosofis dan psikologis masyarakat (Miller dan Seller, 1985: 175 dalam Mohammad Ansyar 1989: 93). Dengan perkataan lain aims adalah statemen tentang hasil kehidupan yang diharapkan (expected life outcomes) berdasarkan skema nilai filsafar hidup (Boudy, 1971:13). Menurut Zais, (1976:298) aims untuk tujuan pendidikan jangka panjang yang digali dari nilai-nilai filsafat suatu Bangsa.
Zais menjelaskan tujuan kurikulum (aim) merupakan pernyataan yang melukiskan keidupan yang diharapkan, tujuan atau hasil yang didasarkan pada pandangan filsafat dan tidak langsung berhubungan dengan dengan tujuan sekolah. Tujuan ini mungkin dapat dicapai setelah seseorang menyelesaikan pendidikan. Barangkali aims ini dapat disamakan dengan “tujuan pendidikan nasional” di Indonesia, karena pada tujuan pendidikan nasional ini dinyatakan keinginan bangsa Indonesia untuk mencapai suatu hasil pendidikan yang berlandasakan filsafat hidup bangsa Indonesia yang bernama Pancasila. Tujuan jenis ini tidak berkaitan langsung dengan hasil pendidikan di sekolah atau hasil proses belajar mengajar dalam ruang-ruang kelas.
Aim merupakan target yang pencapaiannya jauh dari situasi sekolah dan hasilnya mungkin jauh setelah proses belajar-mengajar di sekolah selesai. Contohnya untuk menjadikan manusia yang memiliki rasa tanggung jawab pada negara, atau manusia yang sehat jasmani dan rohani, berbudi pekerti luhur, mandiri dan lain-lain. Dan ini hanya mungkin dapat dicapai setelah anak menyelesaikan beberapa tingkatan pendidikan formal, informal dan bahkan mungkin non formal. Untuk mencapai tujuan umum “aims” perlu ditentukan pula yang lebih spesifik dari aims tersebut yang biasa dinamakan dengan goals.
Goals merupakan tujuan antara yang terletak antara aims dan objectives. Yang tersebut terakhir adalah tujuan yang dicapai sebagai hasil belajar dalam ruang-ruang kelas sekolah (Miller dan Seller, 1985: 179) dengan perkataan lain, goals adalah hasil proses belajar menurut suatu sistem sekolah (Zais, 1976:306). Goals lebih umum dari objectives dan bukan merupakan hasil langsung proses belajar dalam ruang kelas dan untuk mencapainya memerlukan seperangkat objectives. Contohnya antara lain adalah kemampuan berpikir analitik dan berpikir kritis, mengapresiasi dan mengamalkan ajaran agama Islam dan lain sebagainya. Barangkali di Indonesia goals ini dapat disamakan dengan tujuan kurikulum sekolah atau tujuan institusional.
Tingkat tujuan yang lebih rendah dari goals dalah objectives yaitu tujuan suatu unit atau pokok bahasan yang lebih spesifik yang merupakan hasil belajar dalam ruang-ruang kelas sekolah. Pada tingkat ini, kita berbicara tentang kemungkinan pemakaian objectives tingkah laku (behavioral objectives) yang menunjukkan tingkah laku yang eksplisit yang dimiliki siswa setelah mengikuti suatu pelajaran. Dengan perkataan lain objective adalah hasil belajar siswa dalam kelas, yaitu hasil proses belajar mengajar dalam kelas atau kegiatan belajar mengajar setiap haris sebagai hasil implentasi kurikulum. Contohnya: siswa mengusasi prinsip-prinsip dasar ilmu kimia, siswa dapat menyelesaikan 4 soal dari 5 soal persamaan kuadrat dan lain-lain.
Menurut Muhammad Ansyar (1989: 94) Marger (1962) adalah salah seorang yang paling gigih menekankan penting ditetapkan tujuan tingkah laku ini. Dia mengemukakan bahwa tujuan tingkah laku harus mencakup tiga komponen: (1) tingkah laku yang diinginkan, (2) kondisi tertentu tempat tingkah laku itu terjadi, dan (3) tingkat untuk kerja tingkah laku itu.
Di Indonesia kita kenal tingkatan/hirarkis tujuan itu dalam beberapa istilah seperti Tujuan Pendidikan Nasional, Tujuan Institusional, Tujuan Kurikuler, dan Tujuan Instruksional Umum dan Khusus. (Depdikbud, 1984/1985:5)

2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan institusional/goal dan tujuan kurikuler dijabarkan lagi dalam tujuan pembelajaran, tujuan ini lebih konkret dan lebih operasional yang pencapaiannya dibebankan kepada tiap pokok bahasan yang terdapat dalam tiap bidang studi. Menurut Suryosubroto, (1990: 20-21) tujuan pembelajaran adalah rumusan secara terperinci apa saja yang harus dikuasai oleh peserta belajar sesudah ia melewati kegiatan instruksional yang bersangkutan dengan berhasil. Kita dapat membedakan dua macam tujuan pembelajaran, yaitu: (1) Tujuan Pembelajaran Umum (TPU), tujuan instruksional umum kata-katanya masih umum, belum dapat diukur. Contohnya Siswa memahami konsep zakat dalam ajaran agama Islam. (2) Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK). Rumusan tujuan ini ditujukan pada (siswa), dengan langsung dapat diketahui (diukur) pada setiap kegiatan pengajaran berlangsung, dengan kata dan sayrat-syarat tertentu. Seperti kata kerja operasional, mengandung satu tingkah laku, berorientasi pada siswa, dapat diukur. Contoh. Melalui demonstrasi dan latihan siswa dapat mempraktekkan shalat maghrib dengan benar dan tertib.
Menurut Kaber (1988:11) tujuan instruksional spesifik dapat ditarik dari sumber pokok:
a. dari tujuan umum, seluruh kegiatan sekolah
b. dari tema (organizing center), topik yang dipelajari
c. dari perkembangan keterampilan yang dipelajari secara kontinu, misalnya dalam bahasa.

Tujuan instruksional mengandung dua komponen yaitu komponen isi dan komponen proses. Komponen isi berfokus pada memperoleh fakta, konsep, prinsip-prinsip yang berhubungan dengan topik yang dipelajari. Sedangkan komponen proses menitik beratkan perhatian pada kegiatan, pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan topik. Jenis-jenis tujuan instruksional dapat digolongkan atas:
a. Tujuan yang berbetuk tingkah laku (behavioral objectives)
b. Tujuan yang berupa penampilan (peformance objective)
c. Tujuan yang bersifat mengungkapkan diri (expressive objectives)
d. Tujuan yang mengacu kepada ranah perilaku (domain refence objectives).

Dari sejumlah uraian tentang konsep tujuan tersebut secara garis besar yang dimaksud dengan tujuan adalah Suatu pernyataan atau rumusan tentang deskripsi tingkah laku atau kemampuan yang diharapkan dapat diperoleh dan dimiliki seseorang setalah melakkukan atau menyelesaikan kegiatan pendidikan/belajar (sesuai dengan hirarkisnya).
3. Fungsi Tujuan
Rumusan tujuan pendidikan yang tepat dapat berfungsi dan bermanfaat dalam kegiatan pengembangan kurikulum, minimal sebagai berikut:
1) Tujuan akan menjadi pedoman bagi disainer untuk menyusun kurikulum yang efektif, (Davies: 1976: 73, Pratt, 1980: 145) dengan demikian memberikan arah kepada para disainer kurikulum dalam pemilihan bahan pelajaran, yaitu bahan pelajaran yang menopang tercapainya tujuan pendidikan.
2) Tujuan merupakan pedoman bagi guru dalam menciptakan pengalaman belajar (Pratt, 1980: 145)
3) Tujuan memberikan informasi kepada siswa apa yang harus dipelajari (Pratt: 145, Davies: 73)
4) Tujuan merupakan patokan evaluasi mengenai keberhasilan program (proses belajar mengajar) (Pratt: 145, Daveis: 74)
5) Tujuan menyatakan kepada masyarakat tentang apa yang dikehendaki sekolah, apa yang hendak dicapai (Pratt: 145 – 146)

Dari uraian di atas jelas bahwa tujuan pendidikan merupakan patokan, pedoman orientasi bagi para pelaksana/pendesain pendidikan.

4. Sumber Tujuan
Para ahli kurikulum tampaknya agak susah membedakan antara sumber dan kriteria dalam penetapan tujuan. Smith, Stanley dan Shores (1957: 108-123) misalnya mengistilahkan dengan pengembangan prinsip/kriteria penetapan tujuan kurikulum, yaitu tiga kreteria yang berupa substantif, dan dua kriteria prosedural. Krieria substantif bagi penetapan tujuan adalah kebutuhan dasar anak-anak, kebutuhan sosial atau masyarakat, dan ide-ide demokrasi. Kriteria yang yang hampir sama diajukan oleh Tyler (1949) yakni studi tentang pelajar, studi tentang kehidupan masyarakat di luar sekolah, dan saran-saran dari ahli mata pelajaran. Lebih jauh Tyler menekankan pendapatnya bahwa filsafat dan psikologi belajar merupakan “saringan” atau kriteria bagi penetapan lebih lanjut tujuan-tujuan pendidikan tersebut. Zais (1976: 301-305) mengemukakan hal yang mirip dengan yang dikemukakan oleh kedua sumber di atas. Dia menamakannya sumber-sumber tujuan, yaitu sumber emperis mengenai studi tentang masyarakat dan pelajar; sumber filosofis, dan dan sumber yang berasal dari mata pelajaran.
Menurut Zais (1976:301) sumber-sumber tujuan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni sumber empirik, sumber filosofi, dan sumber bidang kajian atau subject matter. Sumber empirik mengacu kepada apa yang diinginkan oleh masyarakat, sumber filosofi merupakan kajian apa yang diisyaratkan (ought to be) untuk dicapai dalam suatu program pendidikan, dan sumber bidang kajian merupakan tujuan apa yang harus dicapai melalui kajian bidang studi.
Ketiga sumber yang digunakan dalam mengembangkan tujuan kemudian dikonstruksi dalam pola hirarkhi tujuan. Sumber empirik dan filosofi dikelompokkan dalam tujuan akhir (ends) atau tujuan pendidikan nasional, sedangkan sumber bidang kajian dikelompokkan ke dalam tujuan objectives (means) yang merupakan alat untuk mencapai tujuan akhir.
Semua penulis tersebut menekankan bahwa semua pengembang dan pendesain kurikulum hendaknya mengenal bahwa tujuan-tujuan bersumber dari asumsi-asumsi tentang pekajar, masyarakat dan ilmu pengetahuan. Menurut mereka tidak satupun dari ketiga sumber tersebut dapat dikesampingkan para ahli kurikulum. Dan amat penting sekali untuk saling menjaga keseimbangan antara ketiga sumber kurikulum tersebut.
Smith, Stanley dan Shores (1957) mengajukan juga kriteria lain bagi penetapan tujuan yaitu keterwakilan, kejelasan, keterpertahankan, konsistensi dan fisibilitas.

B. Perumusan Tujuan Pendidikan
1. Klasifikasi Tujuan Pendidikan
Broudy (dalam Zais, 1976: 307) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi empat kategore yang saling berkaitan. Pertama, tujuan pendidikan diarahkan pada pencapaian pola nilai utama. Nilai ini merupakan refleksi dari pandangan filsafat, yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap ketiga ciri tujuan pendidikan lainnya.
Kedua tujuan pendidikan menurut Broudy, adalah organisasi sosial yang lebih disukai. Ketiga peranan sosial yang lebih diinginkan, dan keempat gaya hidup yang lebih disenangi. (Zais, 1976:308)
Schubert (1986, 202-206) mengajukan empat tujuan pendidikan yaitu; (1)sosialisasi, (2)pencapaian, (3) pertumbuhan, dan (4)perubahan sosial. Sosialisasi merupakan tujuan yang harus dicapai anak didik agar mereka dapat hidup dengan baik dimasyarakat, dan dengan kebudayaannya.
Pencapaian atau prestasi perorangan biasanya diperlukan bagi anak-anak di negara industri dan post-industri, tempat prestasi merupakan gaya kehidupan yang hidup dimasyarakat.
Pertumbuhan personal anak bermula pada masa pendidikan progresive yang dipelopori John Dewey. Pendidikan dengan tujuan pertumbuhan muncul dalam beberapa versi, nama seperti pendidikan terbuka pada tahun 1960-an dan awal 70-an, pendidikan humanistik, 1950-an dan 1980-an. Tujuan pendidikan pertumbuhan personal memerlukan penyesuai kurikulum yang mengakomodir kebutuhan pribadi, bakat, minat, dan kemapuan anak yang berbeda-beda. Perubahan sosial, menurut aliran ini sekolah dapat dan harus mengusahakan perbaikan sosial (Muhammad Ansyar, 1989:102).
2. Klasifikasi Tujuan Pembelajaran
Oleh karena sukar menetapkan tingkat suatu tujuan yaitu, apakah itu pada tingkat tujuan pendidikan nasional (aims), atau pada tingkat sekolah, atau ruang kelas, maka Zais (1976: 308-309) mengajukan tiga kategore (fakta, keterampilan, dan sikap) biasa dipakai sebagai cara utama untuk menyusun tujuan kurikulum (goals) dan tujuan pembelajaran (objectives).
Fakta biasanya diartikan sebagai asimilasi yang dapat berupa unit-unit data, opini, atau konsep-konsep yang kompleks. Keterampilan adalah kemampan untuk melakukan sesuatu, termasuk proses seperti membaca, menulis, berpikir, kritis, berkomunikasi dan keterampilan fungsional lainnya. Sikap berkaitan dengan watak yang diinginkan atau perasaan yang timbul dari berbagai rangsangan, termasuk kecenderungan seperti kesukaan atau ketidaksukaan,, berminat atau tidak berminat dan lain-lain.
Klasifikasi tujuan yang lebih sistematis telah dikemukakan Bloom (1956) dan Krathwohl, Bloom dan Masia (1964) seperti tertera dalam Zais (1976: 304-310) Tanner dan Tanner (1975:121-131). Tujuan pendidikan dikalsifikasikan pada tiga ranah besar yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Proses kognitif diklasifikasikan ke dalam suatu urutan hirarkis, dari tingkat berpikir yang sederhana ke tingkat intelektual yang lebih kompleks:
1) Pengetahuan
2) Pemahaman
3) Aplikasi
4) Analisis
5) Sintesis
6) Evaluasi

Ranah afektif mencakup tujuan-tujuan yang berkaitan dengan demensi perasaan, tingkah laku, atau nilai, seperti apresiasi terhadap karya seni, berbudi pekerti luhur, dan lain-lain.
Ranah afektif dibagi menjadi lima tingkatan yang bergerak dari kesadaran yang sederhana menuju kekondisi di mana perasaan memegang peranan penting dalam mengontrol tingkah laku:
1) Menerima
2) Responsif
3) Menghargai
4) Organisasi
5) Karakteristik

Ranah psikomotor dibagi empat tingkatan, dari yang paling sederhana kepada tingkat yang paling kompleks, yaitu:
1) Observasi
2) Meniru
3) Praktek
4) Adaptasi.

Kegunaan taksonomi tujuan telah memberikan kntribusi yang besar terhadap penyempurnaan teknik evaluasi hasil kurikulum. Oleh karena itu, analisis tujuan-tujuan yang dikemukakan pada taksonomi membantu petugas kurikulum menjaga konsistensi serta menjaga keseimbangan tujuan antara berbagai ranah.

3. Kriteria Perumusan Tujuan Pembelajaran
Dalam pendahuluan telah dikemukakan betapa pentingnya tujuan pendidikan dalam perencanaan dan pengembangan kurikulum dan pengajaran. Tujuan merupakan dasar orientasi sekaligus sesuatu yang akan dicapai dalam semua program kegiatan pendidikan. Seperti dikatakan Hilda Taba dalam (Davies, 1976: 56) terdapat banyak hal yang terlibat dalam kegiatan kurikulum atau pengajaran, yaitu siswa, materi pengajaran, guru, kelas, dan varaisi-variasi aktivitas lain yang kompleks. Untuk mengikat kesemuanya itu agar dapat berjalan secara harmonis, tidak saling bertentangan diperlukan tujuan, penekanan yang konsisten, yang berfungsi mengikat dan menyatukan program-program kegiatan tersebut. Tanpa tujuan yang jelas mustahil kesemuanya itu dapat dilaksanakan dengan baik.
Kurikulum sekolah yang disusun bagaimanapun juga dimaksudkan agar dapat dilaksanakan dengan efektif dan efesien. Karenanya tujuan merupakan faktor yang paling menentukan, maka penyusunan tujuan-tujuan itu harus benar-benar dipertimbangkan dengan cermat. Hal itu mengingat bahwa tujuan yang disusun itu tidak dengan sendirinya pasti baik, jelas, dan teliti, sebagai contoh kita kadang menemukan kerepotan dalam menafsirkan suatu tujuan dalam kurikulum.
Menurut Kaber (1988:108) menetapkan tujuan merupakan proses analisis yang menuntut suatu keterampilan, keahlian tersendiri. Untuk itu perlu adanya suatu langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menganalisis suatu tujuan pendidikan/pengajaran. Langkah-langkah tersebut dijabarkannya sebagai berikut:
Mengidentifikasi Klasifikasi Menetapkan
Pentingnya jenis tujuan Tujuan

Penshahihan Mencek berdasar Spesifikasi Analisis
Tujuan kan kriteria Tujuan Tujuan
Merumuskan tujuan seperti dijelaskan sebelumnya harus runtun yaitu tujuan umum dijabarkan pada tujuan khusus. Selanjut tujuan khusus diteliti jenis-jenisnya, dinilai kepentingannya dan dicek berdasarkan kriteria, syarat-syarat tujuan lebih formal dan terinci, sehinga setiap komponen yang ada tidak terlampaui.
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan yang merupakan kriteria tujuan yang baik seperti berikut ini:
1. Tujuan harus selalu kosisten dengan tujuan tingkat di atasnya (Pratt, 1980:185). Tujuan-tujuan yang bersifat penjabaran dari suatu tujuan yang lebih tinggi jenjangnya harus sesuai atau tidak bertentangan dengan hal-hal yang diisayaratkan oleh tujuan tersebut. Misalnya tujuan instruksional yang dijabarkan langsung dari tujuan kurikuler harus mencerminkan tujuan kurikuler itu.
2. Tujuan harus tepat seksama dan teliti. Tujuan hanya berguna jika ia dirumuskan secara teliti dan tepat sehingga memungkinkan orang mempunyai kesamaan pengertian terhadapnya. Perumusan tujuan yang cermat akan memungkinkan kita untuk melaksanakannya dengan penuh kepastian. Ketelitian berhubungan dengan skope tujuan, walau tidak untuk menentukan berapa banyak harus terkandung materi pelajaran dalam suatu tujuan. Identifikasi tujuan khusus pencapaiannya akan terlihat dalam penampilan (peformance) atau bentuk tingkah laku. Perumusan dalam hal ini sering ditentukan oleh situasi. Prinsip umum tentang ketelitian perumusan tujuan adalah: nyatakan tujuan dengan seteliti mungkin untuk dapat menggambarkan secara jelas keluaran belajar dan memberi petunjuk kepada pembuat desain, guru dan penilai hasil (Pratt, 1980:185)
3. Tujuan harus diidentifikasikan secara spesifik yang menggambarkan keluaran belajar yang dimaksudkan. Tujuan yang dirumuskan harus menunjuk pada pengertian keluaran dari pada kegiatan. Tujuan yang menunjukkan tingkat kemampuan atau pengetahuan siswa merupakan maksud utama kurikulum. Akan tetapi jika ia tidak pernah mengidentifikasi keluarannya, ia bukanlah tujuan kurikulum yang kualifait (Pratt, 1980:184).
4. Tujuan bersifat relevan (Davies, 1976:17) dan berfungsi (Pratt,1980:186). Masalah kerelevansian berhubungan dengan persoalan personal dan sosial, atau masalah praktis yang dihadapi individu dan masyarakat. Memang harus diakui bahwa terdapat perbedaan pengertian tentang kerelevansian itu karena adanya perbedaan masalah dan kepentingan antara tiap individu dan masyarakat. Jadi kerelevansian itu berkaitan dengan pengertian untuk siapa dan kapan. Di samping relevan, tujuan pun harus berfungsi personal maupun sosial. Suatu tujuan dikatakan berfungsi personal jika ia memberi manfaat bagi individu yang belajar untuk masa kini dan masa akan datang, dan berfungsi sosial jika ia memberi mafaat bagi masyarakat di samping pelajar.
5. Tujuan harus mempunyai kemungkinan untuk dicapai. Tujuan yang dirumuskan harus memungkinkan orang, pelaksana kurikulum untuk mencapainya sesuai kemampuan yang ada. Masalah kemampuan itu berkaitan dengan masalah tenaga, tingkat sekolah, waktu, dana, skope materi, fasilitas yang tersedia, dan sebagainya. Perumusan tujuan yang terlalu muluk (karena terasa lebih ideal) dan melupakan faktor kemampuan atau realitas hanya akan berakibat tujuan itu tak tercapai. Suatu program kegiatan dikatakan efektif jika hasil yang dicapai dapat sesuai atau paling tidak, tidak terlalu jauh berbeda dengan perencanaan.
6. Tujuan harus memenuhi kriteria kepantasan worthwhilness (Davies, 1976:18). Pengertian “pantas” mengarah pada kegiatan memilih tujuan yang dianggap lebih memiliki potensi, bersifat mendidik, dan lebih bernilai. Memang agak sulit menentukan tujuan yang lebih pantas karena dalam hal ini orang bisa mengalami perbedaan kesepakatan pengertian. Secara umum kita boleh mengatakan bahwa kriteria kepantasan harus didasarkan pada pertimbangan objektif, dengan argumentasi yang objektif. Dalam hal ini Profesor Peter dalam (Davies, 1976:18) menyarankan tiga kriteria (a) aktivitas harus berfungsi dari waktu ke waktu, (b) aktivitas harus bersifat selaras dan seimbang dari pada bersaing, mengarah ke keharomonisan secara keseluruhan, dan (c) aktivitas harus bernilai dan sungguh-sungguh khususnya yang menunjang dan memajukan keseluruhan kualitas hidup.
Secara lebih khusus lagi terutama dalam merumuskan tujuan kurikulum Pratt (1980: 190) yang dukutip oleh Kaber (1988:109) mengemukakan ada tujuh kriteria yang harus dipenuhi dalam merumuskan tujuan kurikulum yang mengarah kepada tingkah laku, seperti berikut ini:
1. Menunjukkan hasil belajar yang spesifik.
2. Memperlihatkan konsistensi
3. Memperlihatkan ketepatan
4. Memperlihatkan kelayakan
5. Memperlihatkan fungsionalitas
6. Memperlihatkan signifikasi
7. Memperlihatkan keserasian

P E N U T U P
Tujuan pendidikan merupakan suatu elemen penting dalam pengembangan kurikulum. Tujuan pendidikan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam merancang kurikulum, terutama dalam memilih dan menetapkan materi, metode/proses dan menetapkan alat evaluasi. Tujuan juga sebagai alat untuk mengukur keberhasilan sebuah rancangan kurikulum.
Merumuskan tujuan Pendidikan Nasonal memang bukan pekerjaan yang mudah karena, akan menentukan arah bagi perkembangan bangsa itu selanjutnya. Untuk itu diperlukan keahlian dan kesadaran apa sebenarnya yang diinginkan/diharapkan oleh masyarakat bangsa itu. Bahkan itu tidak memadai manakala tidak dilengkapi dengan saringan sercara filosofis dan psikologis setiap keinginan tersebut, sehingga benar-benar berupa keinginan yang pantas dan sesuai dengan harkat dan martabat manusia ideal.
Seorang pengembang kurikulum harus benar-benar memahami sumber-sumber tujuan pendidikan yang akan ditetapkan dalam kurikulum, seperti kajian tentang anak didik, mayarakat diluar sekolah dan perkmbangan disiplin ilmu. Kesemua sumber itu kemudian direkonstruksi dalam sebuah rumusan yang pantas, konsisten, representatif, jelas, terpertahankan dan fisibility.
Demikianlah antara lain beberapa konsep tujuan, sumber fungsi serta kriteria yang perlu dipertimbangkan dan sekaligus dipenuhi dalam kegiatan perencanaan dan perumusan tujuan. Sudah tentu masih ada pertimbangan-pertimbangan lain yang juga menuntut perhatian yang belum tercakup di atas, untuk itu perlu kita diskusikan lagi demi untuk mecari sesuatu lebih sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Ansyar, Muhammad, (1988) Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Dirjen Dikti, Jakarta
Davies, Ivor K, (1976) Objectives In Curriculum Design, Megraw-Holl Book Company, London
Depdikbud, (1984/1985) Pengembangan Kurikulum dan Sistem Instruksional, Dirjen Dikti, Proyek Pengembangan Perguruan Tinggi, Jakarta
J. Galen Saylor. William M. Alexander dan Arthur J. Lewis, 1981 Curriculum Plaining for Better Teaching and Learning,
Kaber, Achacius, (1988) Pengembangan Kurikulum, Dirjen Dikti, Proyek Pengembangan Lembaga dan Tenaga Kependidikan, Jakarta
Oliva, Peter F, (1992) Developing The Curriculum, Third Edition, Harper Collin Publishers, New York
Pratt, David, (1980) Curriculum Design and Development, Harcout Brace Jovanovich, Inc, New York
Smith, B.O, Stanley, W.O. dan Shores, J.H., 1957, Fundamentals of Curriculum Development, Harcourt Brace and World, New York
Schubert, William H.1986, Curriculum: Perspective, Paradigm, and Possibility, Co;;ier Macmillan Publishers, London
Tanner, Daniel, dan Tanner, Laurel N, 1975, Curriculum Development: Theory into Pracyice, Macmillan Publishing Company, Inc., New York
Zais, Robert S, (9176) Curriculum Principle and Foundation, Thoms Ciowell Company, New York

Rabu, 23 Juni 2010

BAHAN ALAM DAN BAHAN SISA SEBAGAI MEDIA BELAJAR

BAHAN ALAM DAN BAHAN SISA SEBAGAI MEDIA BELAJAR
13 06 2010

Dalam dunia pendidikan, belajar merupakan salah satu hal pokok yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Belajar dalam pelaksanaannya haruslah menarik minat dan dianggap menyenangkan bagi peserta didik. Kegiatan belajar yang menyenangkan tersebut sebisa mungkin disamarkan dan melebur dalam kegiatan terpadu, yang menurut mereka (peserta didik), disebut dengan bermain.

Bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak, karena menyenangkan, bukan karena akan memperoleh hadiah atau pujian. Tetapi bagi anak, bermain adalah suatu kegiatan yang serius, namun mengasyikkan. Melalui aktivitas bermain, berbagai fantasinya, tujuannya dan pekerjaannya terujud. Dan tentu saja, sebagai guru, tujuan pembelajaran pun tercapai.

Saat anak bermain, semua indera anak bekerja aktif. Semua informasi ditangkap oleh indera anak, disampaikan ke otak sebagai rangsangan, sehingga sel-sel otak aktif dan berkembang.

Saya kira, paparan tentang hubungan belajar dan bermain sudah cukup. Sekarang marilah kita simak media apa sajakah yang tepat dan aman serta (tentu saja) menarik untuk bahan pembelajaran. Monggo.!

Media belajar yang baik adalah media yang dapat memberi kesempatan untuk mendapatkan dan memperkaya pengetahuan anak secara langsung. Pun dapat meningkatkan kemampuan berbahasa, berpikir kritis dan positif, membantu mengenal lingkungan dan kemampuan dirinya, menumbuhkan motivasi dan meningkatkan perhatian belajar anak.

Media tersebut harus memperhatikan hal-hal berikut :

* Menjaga keamanan dan keselamatan.
* Menjaga kesehatan / kebersihan.
* Pembuatan sesuai ukuran.
* Bisa untuk bereksplorasi anak.
* Dapat untuk bereksperimen anak.
* Mengembangkan imajinasi anak.
* Memotivasi anak untuk kreatif.
* Mengembangkan kemampuan sosial anak.
* Sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan anak.
* Berorientasi pada prinsip-prinsip perkembangan anak

Jean Pidget (1972 : p.27) menyebutkan bahwa “Anak seharusnya mampu melakukan percobaan dan penelitian sendiri. Guru, tentu saja, bisa menuntun anak-anak dengan menyediakan bahan-bahan yang tepat” Nah, bagi anda para guru, sengaja saya kutipkan pendapat diatas dan saya garis bawahi yaitu : bagian Guru, tentu saja, bisa menuntun anak-anak dengan menyediakan bahan-bahan yang tepat. :D

Anda dapat memilih media-media berikut ini : [Bahan cair/ bahan alam], [bahan pembangunan terstruktur], atau [bahan belajar mikro dan makro]. Silakan diklik saja. Tetapi yang akan kita bahas di sini adalah kategori pertama, yaitu BAHAN CAIR/ BAHAN ALAM. Macam-macam bahan cair untuk pembelajaran ini meliputi : air, pasir, cat jari, lumpur, tanah liat, play dough, krayon, cat, dll.

PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN

Saat ini komputer bukan lagi merupakan barang mewah, alat ini sudah digunakan di berbagai bidang pekerjaan seperti halnya pada bidang pendidikan. Pada awalnya komputer dimanfaatkan di sekolah sebagai penunjang kelancaran pekerjaan bidang
administrasi dengan memanfaatkan software Microsoft word, excel dan access.
Dengan masuknya materi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam kurikulum baru, maka peranan komputer sebagai salah satu komponen utama dalam TIK mempunyai posisi yang sangat penting sebagai salah satu media pembelajaran. Kutipan dari Kurikulum untuk Mata Pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi
· Visi mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi yaitu agar siswa dapat dan terbiasa menggunakan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi secara tepat dan optimal untuk mendapatkan dan memproses informasi dalam kegiatan belajar, bekerja, dan aktifitas lainnya sehingga siswa mampu berkreasi, mengembangkan sikap imaginatif, mengembangkan kemampuan eksplorasi mandiri, dan mudah beradaptasi dengan perkembangan baru di lingkungannya · Melalui mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi diharapkan siswa dapat terlibat pada perubahan pesat dalam kehidupan yang mengalami penambahan dan perubahan dalam penggunaan beragam produk teknologi informasi dan komunikasi.
Siswa menggunakan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk mencari, mengeksplorasi, menganalisis, dan saling tukar informasi secara efisien dan efektif. Dengan menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi, siswa akan dengan
cepat mendapatkan ide dan pengalaman dari berbagai kalangan. Penambahan kemampuan siswa karena penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi akan mengembangkan sikap inisiatif dan kemampuan belajar mandiri, sehingga siswa
dapat memutuskan dan mempertimbangkan sendiri kapan dan dimana penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi secara tepat dan optimal, termasuk apa implikasinya saat ini dan dimasa yang akan datang.

· Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) mencakup dua aspek, yaitu Teknologi Informasi dan Teknologi Komunikasi. Teknologi Informasi, meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi. Teknologi Komunikasi merupakan segala hal yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat yang satu ke lainnya. Karena itu, Teknologi Informasi dan Teknologi Komunikasi adalah suatu padanan yang tidak terpisahkan yang mengandung pengertian luas tentang segala kegiatan yang terkait dengan pemrosesan, manipulasi, pengelolaan, dan transfer/pemindahan informasi antar media.
· Secara khusus, tujuan mempelajari Teknologi Informasi dan Komunikasi adalah:
1. Menyadarkan siswa akan potensi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang terus berubah sehingga siswa dapat termotivasi untuk mengevaluasi dan mempelajari Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai dasar untuk belajar sepanjang hayat.
2. Memotivasi kemampuan siswa untuk bisa beradaptasi dan mengantisipasi perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi, sehingga siswa bisa melaksanakan dan menjalani aktifitas kehidupan seharihari secara mandiri dan lebih percaya diri.
3. Mengembangkan kompetensi siswa dalam menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk mendukung kegiatan belajar, bekerja, dan berbagai aktifitas dalam kehidupan seharihari.
4. Mengembangkan kemampuan belajar berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi, sehingga proses pembelajaran dapat lebih optimal, menarik, dan mendorong siswa terampil dalam berkomunikasi, terampil mengorganisasi informasi, dan terbiasa bekerjasama.
5. Mengembangkan kemampuan belajar mandiri, berinisiatif, inovatif, kreatif, dan bertanggungjawab dalam penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk pembelajaran, bekerja, dan pemecahan masalah seharihari.

Dengan melihat isi dari kurikulum tersebut, kita harus mengintegrasikan TIK dalam proses belajar mengajar di madrasah bukan hanya untuk mata pelajaran teknologi dan informasi saja. Melihat kondisi TIK pada saat ini dan perkembangannya di masa datang, kita harus mempersiapkan diri dan melakukan perencanaan yang matang dalam mengimplementasikan TIK di madrasah. Jika kita tidak memulainya sekarang maka madrasah sebagai salah satu institusi pendidikan selain sekolah yang berada dibawah Depdiknas akan tertinggal oleh sekolah lain. Jika ini terjadi, usaha kita akan semakin berat untuk mensejajarkan madrasah dengan sekolah lain. Di satu sisi, kita sedang berusaha mengejar ketertinggalan dalam mata pelajaran khususnya MIPA dan BahasaInggris, di sisi lain TIK akan membuat kita tertinggal semakin jauh. Mengamati Program Pengembagan TIK yang dilakukan Depdiknas Untuk mengejar ketertinggalan pemanfaatan TIK di sekolah dari negara lain, saat iniDepdiknas mempunyai program pengembangan TIK secara besarbesaran.
Ada tiga posisi penting di Depdiknas dalam program pengembangan TIK, yaitu:
1. Bidang kejuruan, TIK menjadi salah satu jurusan di SMK. Pengembangan TIK secara teknis baik hardware dan software masuk dalam kurikum pendidikan. Dibentuknya ICT center di seluruh Indonesia. Untuk menghubungkan sekolahsekolah di sekitar ICT center dibangun WAN (Wireless Area Network) Kota.
2. Pustekkom, sebagai salah satu ujung tombak dalam pengembangan TV pendidikan interaktif, Elearning dan ESMA. Program ini bertujuan untuk mempersempit jurang perbedaan kualitas pendidikan antara kota besar dengan daerah.
3. Jardiknas (Jejaring Pendidikan Nasional), bertujuan untuk mengintegrasikan kedua program di atas agar terbentuk sebuah jaringan yang menghubungkan semua sekolah di Indonesia. Sehingga diperkirakan di masa depan semua sekolah di Indonesia akan terkoneksi dengan internet. Melihat program yang diadakan oleh Depdiknas kita bisa memanfaatkan fasilitas tersebut karena bersifat terbuka.

Pengembangan TIK di Madrasah secara Mandiri
Kita belum terlambat untuk mempersiapkan diri dalam penguasaan TIK sebagai media pembelajaran di madrasah. Mulai saat ini pihak madrasah dan Majlis Madrasah harus membuat sebuah program pengembangan TIK secara menyeluruh. Ada beberapa poin untuk membuat suatu perencanaan pengembangan TIK, diantaranya:
1. Mempersatukan visi dan misi pengembangan TIK yang ingin dicapai antara Kepala sekolah, guru dan majlis madrasah.
2. Pembentukan Komite Teknologi (Organisasi Labkom) yang mandiri
3. Mengidentifikasi infrastruktur lembaga, baik hardware, software maupun sistem dan jaringan yang sudah dimiliki
4. Penentuan hardware dan software yang akan digunakan atau dikembangkan.
5. Mengidentifikasi SDM yang dimiliki
6. Menentukan bentuk pelatihan penguasaan TIK baik untuk guru dan staf lainnya.
7. Adanya Time schedule yang jelas untuk pencapaian program
8. Penentuan Investasi yang diperlukan secara berkala tiap tahun
9. Mengidentifikasi perkembangan software dan kurikulum baru
10. Mengadakan revisi perencanaan disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi.
Dengan perencanaan yang matang, kita bisa mengembangkan TIK secara bertahap di madrasah agar tidak tertinggal dari sekolah lain. Program yang dibuat haru dilaksanakan secara berkelanjutan meskipun terjadi pergantian kepala dan majilis madrasah. Pemanfaatan TIK Sebagai Media Pembelajaran TIK bukan merupakan teknologi yang berdiri sendiri, tetapi merupakan kombinasi dari hardware dan software.Ada hal penting yang harus diperhatikan dalam memanfaatkan TIK sebagai media pembelajaran yaitu hardware dan software yang tersedia dan jenis metode pembelajaran yang akan digunakan. Beberapa pemanfaatan TIK dalam pembelajaran diantaranya:
1. Presentasi
Presentasi merupakan cara yang sudah lama digunakan, dengan menggunakan OHP atau chart. Peralatan yang digunakan sekarang biasanya menggunakan sebuah komputer/laptop dan LCD proyektor. Ada beberapa keuntungan jika kita memanfaatkan TIK diantaranya kita bisa menampilkan animasi dan film, sehingga tampilannya menjadi lebih menarik dan memudahkan siswa untuk menangkap materi yang kita sampaikan. Software yang paling banyak digunakan
untuk presentasi adalah Microsoft Powerpoint. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan bahan presentasi,
diantaranya:
a. Jangan terlalu banyak tulisan yang harus ditampilkan.
b. Tulisan jangan terlalu kecil karena harus dilihat oleh banyak siswa.
c. Perbanyak memasukkan gambar dan animasi
d. Usahakan bentuk presentasi yang interaktif.
2. Demonstrasi
Demontrasi biasanya digunakan untuk menampilkan suatu kegiatan di depan kelas, misalnya eksperimen. Kita bisa membuat suatu film caracara melakukan suatu kegiatan misalnya cara melakukan pengukuran dengan mikrometer yang benar atau mengambil sebagian kegiatan yang penting. Sehingga dengan cara ini siswa bisa kita arahkan untuk melakukan kegiatan yang benar atau mengambil kesimpulan dari kegiatan tersebut.
Cara lain adalah memanfaatkan media internet, kita bisa menampilkan animasi yang berhubungan dengan materi yang kita ajarkan (meskipun tidak semuanya tersedia). Sebagai contoh untuk menampilkan arah vektor dari perkalian silang kita bisa mengakses internet dengan alamat

http://www.upscale.utoronto.ca/GeneralInterest/Harrison/Flash/ClassMechanics/

RightHandRule/RightHandRule.html
3. Virtual Experiment
Maksud dari virtual eksperimen disini adalah suatu kegiatan laboratorium yang dipindahkan di depan komputer. Anak bisa melakukan beberapa eksperimen dengan memanfaatkan software virtual eksperimen misalnya Crocodile Clips. Software ini bisa didownload di http://www.crocodileclips. com/s3_1.jsp , tetapi kita harus register dulu untuk mendapatkan active code yang berlaku untuk satu bulan.
Metode ini bisa digunakan jika kita tidak mempunyai laboratorium IPA yang lengkap atau digunakan sebelum melakukan eksperimen yang sesungguhnya.
4. Kelas virtual
Maksud kelas virtual di sini adalah siswa belajar mandiri yang berbasiskan web, misalnya menggunakan moodle. Saya berikan contoh bentuk kelas maya yang sedang kami kembangkan di MAN 2 Ciamis.Pada kelas maya ini siswa akan mendapatkan materi, tugas dan test secara online. Kita sebagai guru memperoleh kemudahan dalam memeriksa tugas dan menilai hasil ujian siswa. Terutama hasil ujian siswa akan dinilai secara otomatis.
Sebenarnya banyak bentuk pemanfaatan TIK lainnya yang dapat digunakan untuk membantu siswa dalam proses belajar mengajar. Tetapi semua itu tergantung kepada kita bagaimana cara memanfaatkannya.

Sabtu, 21 Mei 2011

pengelolaan kelas

PENGELOLAAN KELAS

Sekolah sebagai organisasi kerja terdiri dari beberapa kelas, baik yang bersifat paralel maupun yang menunjukkan penjenjangan. Setiap kelas merupakan untuk kerja yang berdiri sendiri dan berkedudukan sebagai sub sistem yang menjadi bagian dari sebuah sekolah sebagai total sistem. Pengembangan sekolah sebagai total sistem atau satu kesatuan organisasi, sangat tergantung pada penyelenggaraan dan pengelolaan kelas. Baik di lingkungan kelas masing-masing sebagai unit kerja yang berdiri sendiri maupun dalam hubungan kerja antara kelas yang satu dengan kelas yang lain.
Oleh karena itu setiap guru kelas atau wali kelas sebagai pimpinan menengah (middle manager) atau administrator kelas, menempati posisi dan peran yang penting, karena memikul tanggung jawab mengembangkan dan memajukan kelas masing-masing yang berpengaruh pada perkembangan dan kemajuan sekolah secara keseluruhan, setiap murid dan guru yang menjadi komponen penggerak aktivitas kelas, harus didayagunakan secara maksimal agar sebagai suatu kesatuan setiap kelas menjadi bagian yang dinamis di agar sebagai suatu kesatuan setiap kelas menjadi bagian yang dinamis di dalam organisasi sekolah.
Dari uraian di atas jelas bahwa program kelas akan berkembangan bilamana guru/wali kelas mendayagunakan secara maksimal potensi kelas yang terdiri dari tiga unsur yakni: guru, murid dan proses atau dinamika kelas.
1. Kelas dalam arti sempit yakni ruangan yang dibatasi oleh empat dinding, tempat sejumlah siswa berkumpul untuk mengikuti proses mengajar belajar. Kelas dalam pengertian tradisional ini mengandung sifat statis karena sekedar menunjuk pengelompokan pada batas umur kronologis masing-masing.
2. Kelas dalam arti luas adalah suatu masyarakat kecil yang merupakan bagian dari masyarakat sekolah, yang sebagai satu kesatuan diorganisir menjadi unit kerja yang secara dinamis menyelenggarakan kegiatan-kegiatan mengajar belajar yang keratif untuk mencapai suatu tujuan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi perwujudan management kelas dalam pengertian kelas adalah:
a. Kurikulum
b. Bangunan dan Sarana
c. Guru
d. Murid
e. Dinamika Kelas
f. Lingkungan Sekitar
Keenam faktor tersebut tidak berdiri sendiri, akan tetapi saling bertautan atau saling mempengaruhi, walaupun untuk kepentingan uraian secara teoritis akan diketengahkan satu persatu di bawah ini.
A. Kurikulum
Sebuah kelas tidak boleh sekedar diartikan sebagai tempat siswa berkumpul untuk mempelajari sejumlah ilmu pengetahuan. Demikian juga sebuah sekolah bukanlah sekedar sebuah gedung tempat murid mencari dan mendapatkan ilmu pengetahuan. Sekolah dan kelas diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mendidik anak-anak, yang tidak hanya harus didewasakan dari aspek intelektualnya saja, akan tetapi dalam seluruh aspek kepribadiannya. Untuk itu bagi setiap tingkat dan jenis sekolah diperlukan kurikulum yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dalam perkembangannya. Kurikulum yang dipergunakan di sekolah sangat besar pengaruhnya terhadap aktivitas kelas dalam mewujudkan proses belajar mengajar yang berdaya guna bagi pembentukan pribadi siswa. Dengan kata lain aktivitas sebuah kelas sangat dipengaruhi oleh kurikulum yang dipergunakan di sekolah. Suatu kelas akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat apabila kurikulum yang dipergunakan di sekolah dirancangkan sesuai dengan dinamika masyarakat.
Sekolah yang kurikulumnya dirancangkan secara tradisional akan mengakibatkan aktivitas kelas berlangsung secara statis. Kurikulum tradisional diartikan sebga sejumlah materi pengetahuan dan kebudayaan hasil masa lalu yang harus dikuasai murid untuk mencapai suatu tingkat tertentu, yang dinyatakan dengan ketentuan kenaikan kelas atau pemberian ijazah kepada murid tersebut. Di dalam kurikulum seperti itu mata pelajaran diberikan secara terpisah-pisah (subject certerd curriculum0 yang pada umumnya bersifat intelektualistis.
Sekolah yang diselenggarkan dengan kurikulum modern pada dasarnya akan mampu menyelenggarakan kegiatan kelas yang bersifat dinamis. Kurikulum modern diartikan sebagai semua kegiatan yang berpengaruh pada pembentukan pribadi murid, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas/sekolah, termasuk di dalamnya lingkungan sekitar yang bersifat non edukatif seperti warung sekolah, pesuruh, kondisi bangunan dan sarana sekolah lainnya, masjid/Gereja d an lain-lain.
Kedua kurikulum tersebut di atas kurang serasi dengan kondisi masyarakat Indonesia yang memiliki pandangan hidup Pancasila. Di satu pihak kurikulum tradisional yang berpusat pada guru akan diwarnai dengan sikap otoriter yang mematikan inisiatif dan kreativitas murid. Kurikulum itu tidak akan mampu memenuhi tuntutan pembentukan pribadi berdasarkan minat, bakat, kemampuan dan sifat-sifat kepribadian yang berbeda-beda. Antara murid yang satu dengan murid yang lain dalam satu kelas. Segala sesuatu yang menyangkut isi kurikulum untuk dilaksanakan di kelas sudah diatur dan ditetapkan oleh pihak instansi atasan, yang bahkan menutup kemungkinan guru mengembangkan kegiatan berdasarkan inisiatif dan krativitasnya sesuai dengan kebutuhan anak-anak dan masyarakat sekitar. Dipihak lain kurikulum modern yang menekankan pada perkembangan individu secara maksimal, akan mencerminkan kebebasan atas dasar demokrasi liberal sehingga tidak memungkinkan diselenggarakannya secara efektif kegiatan belajar secara klasikal untuk pengembangan pribadi sebagai makhluk sosial dan makhluk Tuhan Yang maha Esa.
Oleh karena itu diperlukan usaha mengintegrasikan kedua kurikulum tersebut dalam kehidupan lembaga pendidikan formal di Indonesia agar serasi dengan kebutuhan dan dinamika masyarakat. Kurikulum harus dirancang sebagai sejumlah pengalaman edukatif yang menjadi tanggungjawab sekolah dalam membantu anak-anak mencapai tujuan pendidikannya, yang diselenggarakan secara berencana, sistematik dan terarah serta terorganisir. Sekolah yang dirancang dengan kurikulum seperti itu, memungkinkan kegiatan kelas tidak sekedar dipusatkan pada penyampaian sejumlah materi pelajaran/pengetahuan yang bersifat intellectualistic, akan tetapi juga memperhatikan aspek pembentukan pribadi, baik sebagai makhluk individual dan makhluk sosial maupun sebagai makhluk bermoral.
Dengan kurikulum seperti disebutkan terakhir berarti isi pendidikan di dalam kegiatan kelas untuk setiap jenjang/tingkat sekolah harus dirancangkan sebagai berikut:
1. Tingkat Taman Kanak-Kanak
Kurikulum pada tingkat ini harus dirancang untuk memungkinkan kelas menyelenggarakan kegiatan agar anak-anak belajar bergaul, belajar mempergunakan alat-alat yang sederhana, memperoleh ketrampilan dasar atau tingkat permulaan dan dapat bekerja sama dalam bermain walaupun pada tingkat ini kecenderungan dalam bermain masih bersifat individual.
2. Tingkat Sekolah Dasar
Kurikulum pada tingkat ini pada tahap permulaan atau kelas-kelas rendah harus dirancangkan untuk memungkinkan kelas melanjutkan kegiatan-kegiatan atau program-program di taman kanak-kanak. Selanjutnya sesuai dengan kematangan anak-anak, secara bertahap kurikulum harus dengan kematangan anak-anak, secara bertahap kurikulum harus dikembangkan juga untuk mempelajari fakta-fakta pengetahuan yang sederhana, pengembangan kebiasaan berpikir secara kreatif dan pembentukan watak berdasarkan sistem nilai-nilai tertentu. Untuk itu dapat dilaksanakan berbagai kegiatan kelas baik yang dilakukan secara individual maupun secara bersama-sama.
3. Sekolah Lanjutan/menengah
Kurikulum pada tingkat ini harus dirancangkan untuk memungkinkan diselenggarakannya kegiatan kelas dalam memenuhi kebutuhan melakukan eksplorasi dan eksperimentasi guna memberikan pengalaman intelektual dan sosial yang terpadu dalam rangka realisasi diri.
4. Tingkat Perguruan Tinggi
Kurikulum pada tingkat ini dirancangkan untuk memungkinkan kelas menyelenggarakan kegiatan membantu perkembangan individual secara maksimal dalam rangka menguasai keahlian profesional tertentu.
B. Bangunan dan Sarana
Perencanaan dalam membangun sebuah gedung untuk sebuah sekolah berkenaan dengan jumlah dan luas setiap ruangan, letak dan dekorasi nya yang harus disesuaikan dengan kurikulum yang dipergunakan. Akan tetapi karena kurikulum selalu dapat berubah sedangkan ruang/gedung bersifat permanen, maka diperlukan kreativitas dalam mengatur pendayagunaan ruang/gedung yang tersedia berdasarkan kurikulum yang dipergunakan.
Sekolah yang mempergunakan kurikulum tradisional pengaturan ruangan bersifat sederhana karena kegiatan belajar mengajar diselenggarakan di kelas yang tatap untuk sejumlah murid yang sama tingkatannya.
Bagi sekolah yang mempergunakan kurikulum modern, ruangan kelas diatur menurut jenis kegiatan berdasarkan program-program yang telah dikelompokkan secara integrated. Di samping ruangan disusun berdasarkan bidang studi yang bersifat integrated itu disediakan juga ruangan untuk kegiatan bersama berupa ruang kelas untuk mendengarkan ceramah dan ruangan lain seperti perpustakaan, ruang olahraga dan lain-lain.
Bagi sekolah yang mempergunakan kurikulum gabungan pada umumnya ruangan kelas masih diatur menurut keperluan kelompok murid sebagai satu kesatuan menurut jenjang dan pengelompokan kelas secara permanen. Ruang khusus biasanya disediakan secara terbatas berupa laboratorium, perpustakaan, sebuah aula untuk kegiatan olah raga, kesenian dan kegiatan ekstra kelas lainnya.
Dari uraian-uraian di atas jelas bahwa bagi sekolah yang mempergunakan kurikulum tradisional dan kurikulum gabungan (tradisional dan modern), jumlah kelas sangat dipengaruhi oleh perencanaan penerimaan murid atau jumlah murid yang dimiliki. Oleh karena itu dalam rencana pembangunan gedung atau penambahan ruang kelas, diperlukan catatan kependudukan yang teliti dengan memperkirakan juga berapa jumlah yang telah terserap oleh sekolah lain dalam suatu wilayah tertentu.
Untuk mendirikan sebuah sekolah diperlukan perencanaan yang fisibel (layak) sebagai hasil penelitian atau survey yang teliti terutama untuk memperoleh lokasi yang tepat. Penelitian itu selain mengenai aspek kependudukan harus dilakukan juga terhadap situasi lingkungan, kondisi tanah, pendapat masyarakat, kemungkinan berkomunikasi dengan sumber-sumber kependidikan di lingkungan sekitar yang sesuai dengan kurikulum/program yang akan dilaksanakan dan lain-lain.
Setelah sebuah gedung sekolah berdiri diperlukan sarana belajar mengajar yang dapat menunjang efisiensi perwujudan kurikulum/program sekolah atau kelas perlengkapan minimal bagi sebuah sekolah yang mempergunakan salah satu bentuk kurikulum tersebut di atas adalah meja dan kuris murid. Meja dan kuris guru, papan tulis dan kapur tulis. Selanjutnya bagi sekolah yang mempergunakan kurikulum tradisional dan kurikulum gabungan (tradisional dan modern) sekurang-kurangnya diperlukan sejumlah alat peraga sedang bagi sekolah yang mempergunakan kurikulum modern diperlukan saran yang lebih banyak lagi sesuai dengan jenis program yang menjadi tanggung jawabnya.

C. Guru
Program kelas tidak akan berarti bilamana tidak diwujudkan menjadi kegiatan. Untuk itu peranan guru sangat menentukan karena kedudukannya sebagai pemimpin pendidikan diantara murid-murid suatu kelas . secara etimologi atau dalam arti sempit guru yang berkewajiban mewujudkan suatu program kelas adalah orang yang kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah atau kls. Secara lebih luas guru berarti orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak-anak untuk mencapai kedewasaan masing-masing. Guru dalam pengertian terakhir bukan sekedar orang yang berdiri di depan kels untuk menyampaikan materi pengetahuan tertentu, akan tetapi adalah anggota masyarakat yang harus ikut aktif dan berjiwa bebas serta kratif dalam mengarahkan perkembangan akan didik nya. Untuk menjadi anggota masyarakat sebagai orang dewasa.
Setiap guru harus memahami fungsinya karena sangat besar pengaruhnya terhadap cara bertindak dan berbuat dalam menunaikan pekerjaan sehari-hari di sekolah maupun di kelas. Pengetahuan dan pemahamannya tentang kompetensi guru akan mendasari pola kegiatannya dalam menunaikan profesi sebagai guru. Kompetensi guru yang dimaksud antara lain mengenai kompetensi-komptensi pribadi, kompetensi profesi dan kompetensi kemasyarakatan. Kompetensi itu berkenaan dengan kemampuan dasar teknis edukatif dan administratif sebagai berikut:
1. Penguasaan bahan
2. Pengelolaan program belajar mengajar
3. mengelola kelas
4. Penggunaan media/sumber
5. Mampu mengelola dan mempergunakan intraksi belajar mengajar
6. Memiliki kemampuan melakukan penilaian prestasi belajar siswa secara obyektif.
7. Memahami fungsi dan program layanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah.
Setiap guru sebagai petugas profesional ikut bertanggung jawab pada tercapainya tujuan pendidikan secara efektif. Oleh karena itu guru harus ikut dalam menentukan kebijakan kependidikan di kelas/sekolah.
Guru yang memahami kedudukan dan fungsinya sebagai pendidik profesional, selalu terdorong untuk tumbuh dan berkembang sebagai perwujudan perasaan dan sikap tidak puas terhadap pendidik persiapan yang telah diterimanya. Dan sebagai pernyataan dari kesadarannya terhadap perkembangan dan kemajuan bidang tugasnya yang harus diikuti, sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.


D. Murid
Murid merupakan potensi kelas yang harus dimanfaatkan guru dalam mewujudkan proses belajar mengajar yang efektif. Murid adalah anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun psikologis dalam rangka mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan formal, khusus nya berupa sekolah.
Murid sebagai unsur kelas memiliki perasaan kebersamaan yang sangat penting artinya bagi terciptanya situasi kelas yang dinamis. Setiap murid harus memiliki perasaan diterima (membership) terhadap kelasnya agar mampu ikut serta dalam kegiatan kelas.
Kelas merupakan unit tersendiri yang pengelolaannya secara maksimal harus dilakukan dengan mengikutsertakan murid. Pengelolaan kelas yang berhasil akan menumbuhkan kebanggaan kelas sehingga meningkatkan rasa solidaritas dan keinginan untuk ikut berpartisipasi di kalangan murid di kelas tersebut.

E. Dinamika Kelas
Kelas adalah kelompok sosial yang dinamis yang harus dipergunakan oleh setiap wali/guru kelas untuk kepentingan murid dalam kependidikannya. Dinamika kelas pada dasarnya berarti kondisi kelas. Yang meliputi dorongan untuk aktif secara terarah yang dikembangkan melalui kreatifitas dan inisiatif murid sebagai suatu kelompok.
Dinamika kelas dipengaruhi oleh cara wali/guru kelas menerapkan administrasi pendidikan dan kepemimpinan pendidikan serta dalam mempergunakan pendekatan pengelolaan kelas, penerapan kegiatan itu antara lain sebagai berikut.
1. Kegiatan administratif management
Pengelolaan kelas memerlukan tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, koordinasi, komunikasi dan kontrol sebagai langkah-langkah kegiatan management admnistratif.
2. Kegiatan Operatif management kelas
Kegiatan management administratif kelas harus ditunjang dengan kegiatan management operatif agar seluruh program kelas berlangsung efektif bagi pencapaian tujuan. Kegiatan management operatif kelas meliputi
a. Tata usaha kelas
b. Kegiatan Pembekalan kelas
c. Kegiatan keuangan kelas
d. Kegiatan pembinaan personal atau kepegawaian dikelas.
e. Humas dilingkungannya kelas
3. Kepemimpinan wali/guru kelas
Dinamika kelas dipengaruhi secara langsung oleh kepemimpinan wali atau guru kelas, untuk itu kepemimpinan diartikan sebagai proses mengarahkan, membimbing, mempengaruhi, atau mengawasi pikiran, perasaan atau tindakan dan tingkah laku orang lain.
Tiga bentuk kepemimpinan mungkin diwujudkan wali/guru kelas dalam usaha menggerakkan personal di lingkungan kelas masing-masing adalah:
a. Wali atau guru kelas sebagai pemimpin yang bersifat otoriter
b. Wali atau guru kelas sebagai pemimpin yang bersifat laissez faire.
c. Wali atau guru kelas sebagai pemimpin yang bersifat demokratif

4. Disiplin kelas
Disiplin kelas merupakan bagian yang penting dalam dinamika kelas, disiplin kelas diartikan sebagai usaha mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah disetujui bersama dalam melaksanakan kegiatan kelas, agar pemberian hukuman pada seorang atau sekelompok orang dapat dihindari.
Disiplin kelas dapat diartikan juga sebagai suasana tertib dan terpaut akan tetapi penuh dinamika dalam melaksanakan program kelas terutama dalam mewujudkan proses belajar mengajar.
5. Beberapa pendekatan dalam pengelolaan kelas
Seorang wali atau guru kelas harus mampu menetapkan pilihan yang tepat dalam melakukan pendekatan untuk mewujudkan pengelolaan kelas yang efektif. Untuk memperjelas masalah pendekatan yang akan dipergunakan itu, di bawah ini akan diketengahkan beberapa alternatif yang dapat dipilih diantaranya:
a. Pendekatan berdasarkan perubahan tingkah laku (behaviorisme)
b. Pendekatan berdasarkan suasana emosi dan hubungan sosial (sosio emosional climate approach)
c. Pendekatan berdasarkan proses kelompok (group process approach)
d. Pendekatan electis (electic approach)

prinsip pengelolaan kelas

Prinsip-Prinsip Pengelolaan Kelas

“Secara umum faktor yang mempengaruhi pengelolaan kelas dibagi menjadi dua golongan yaitu, faktor intern dan faktor ekstern siswa.” (Djamarah 2006:184). Faktor intern siswa berhubungan dengan masalah emosi, pikiran, dan perilaku. Kepribadian siswa denga ciri-ciri khasnya masing-masing menyebabkan siswa berbeda dari siswa lainnya sacara individual. Perbedaan sacara individual ini dilihat dari segi aspek yaitu perbedaan biologis, intelektual, dan psikologis.

Faktor ekstern siswa terkait dengan masalah suasana lingkungan belajar, penempatan siswa, pengelompokan siswa, jumlah siswa, dan sebagainya. Masalah jumlah siswa di kelas akan mewarnai dinamika kelas. Semakin banyak jumlah siswa di kelas, misalnya dua puluh orang ke atas akan cenderung lebih mudah terjadi konflik. Sebaliknya semakin sedikit jumlah siswa di kelas cenderung lebih kecil terjadi konflik.

Djamarah (2006:185) menyebutkan “Dalam rangka memperkecil masalah gangguan dalam pengelolaan kelas dapat dipergunakan.” Prinsip-prinsip pengelolaan kelas yang dikemukakan oleh Djamarah adalah sebagai berikut.

a. Hangat dan Antusias
Hangat dan Antusias diperlukan dalam proses belajar mengajar. Guru yang hangat dan akrab pada anak didik selalu menunjukkan antusias pada tugasnya atau pada aktifitasnya akan berhasil dalam mengimplementasikan pengelolaan kelas.

b. Tantangan
Penggunaan kata-kata, tindakan, cara kerja, atau bahan-bahan yang menantang akan meningkatkan gairah siswa untuk belajar sehingga mengurangi kemungkinan munculnya tingkah laku yang menyimpang.

c. Bervariasi
Penggunaan alat atau media, gaya mengajar guru, pola interaksi antara guru dan anak didik akan mengurangi munculnya gangguan, meningkatkan perhatian siswa. Kevariasian ini merupakan kunci untuk tercapainya pengelolaan kelas yang efektif dan menghindari kejenuhan.

d. Keluwesan
Keluwesan tingkah laku guru untuk mengubah strategi mengajarnya dapat mencegah kemungkinan munculnya gangguan siswa serta menciptakan iklim belajarmengajar yang efektif. Keluwesan pengajaran dapat mencegah munculnya gangguan seperti keributan siswa, tidak ada perhatian, tidak mengerjakan tugas dan sebagainya.

e. Penekanan pada Hal-Hal yang Positif
Pada dasarnya dalam mengajar dan mendidik, guru harus menekankan pada hal-hal yang positif dan menghindari pemusatan perhatian pada hal-hal yang negative. Penekanan pada hal-hal yang positif yaitu penekanan yang dilakukan guru terhadap tingkah laku siswa yang positif daripada mengomeli tingkah laku yang negatif. Penekanan tersebut dapat dilakukan dengan pemberian penguatan yang positif dan kesadaran guru untuk menghindari kesalahan yang dapat mengganggu jalannya proses belajar mengajar.

f. Penanaman Disiplin Diri
Tujuan akhir dari pengelolaan kelas adalah anak didik dapat mengembangkan dislipin diri sendiri dan guru sendiri hendaknya menjadi teladan mengendalikan diri dan pelaksanaan tanggung jawab. Jadi, guru harus disiplin dalam segala hal bila ingin anak didiknya ikut berdisiplin dalam segala hal.

Kamis, 24 Juni 2010

Tujuan Pembelajaran sebagai Komponen Penting dalam Pembelajaran

Kegiatan menyusun rencana pembelajaran merupakan salah satu tugas penting guru dalam memproses pembelajaran siswa. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional yang dituangkan dalam Permendiknas RI No. 52 Tahun 2008 tentang Standar Proses disebutkan bahwa salah satu komponen dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yaitu adanya tujuan pembelajaran yang di dalamnya menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar.

Agar  proses pembelajaran dapat terkonsepsikan dengan baik, maka seorang guru dituntut untuk mampu menyusun dan merumuskan tujuan pembelajaran secara jelas dan tegas. Oleh karena itu, melalui tulisan yang sederhana ini akan dikemukakan secara singkat tentang apa dan bagaimana merumuskan tujuan pembelajaran. Dengan harapan dapat memberikan pemahaman kepada para guru dan calon guru agar dapat merumuskan tujuan pembelajaran secara tegas dan jelas dari mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya..

B. Apa Tujuan Pembelajaran itu?

Salah satu sumbangan terbesar dari aliran psikologi behaviorisme terhadap pembelajaran bahwa pembelajaran seyogyanya memiliki tujuan. Gagasan perlunya tujuan dalam pembelajaran pertama kali dikemukakan oleh B.F. Skinner pada tahun 1950. Kemudian diikuti oleh Robert Mager pada tahun 1962 yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Preparing Instruction Objective. Sejak pada tahun 1970 hingga sekarang penerapannya semakin meluas hampir di seluruh lembaga pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia.

Merujuk pada tulisan Hamzah B. Uno (2008) berikut ini dikemukakan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli. Robert F. Mager (1962) mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran adalah perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi dan tingkat kompetensi tertentu. Kemp (1977) dan David E. Kapel (1981) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan. Henry Ellington (1984) bahwa tujuan pembelajaran adalah pernyataan yang diharapkan dapat dicapai sebagai hasil belajar. Sementara itu, Oemar Hamalik (2005) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran adalah suatu deskripsi mengenai tingkah laku yang diharapkan tercapai oleh siswa setelah berlangsung pembelajaran .

Meski para ahli memberikan rumusan tujuan pembelajaran yang beragam, tetapi semuanya menunjuk pada esensi yang sama, bahwa : (1) tujuan pembelajaran adalah tercapainya perubahan perilaku atau kompetensi pada siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran; (2) tujuan dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau deskripsi yang spesifik.  Yang menarik untuk digarisbawahi  yaitu dari pemikiran Kemp dan David E. Kapel bahwa perumusan tujuan pembelajaran harus diwujudkan dalam bentuk tertulis. Hal ini mengandung implikasi bahwa setiap perencanaan pembelajaran seyogyanya dibuat secara tertulis (written plan).

Upaya merumuskan tujuan pembelajaran dapat memberikan manfaat tertentu, baik bagi guru maupun siswa. Nana Syaodih Sukmadinata (2002) mengidentifikasi 4 (empat) manfaat dari tujuan pembelajaran, yaitu: (1) memudahkan dalam mengkomunikasikan maksud kegiatan belajar mengajar kepada siswa, sehingga siswa dapat melakukan perbuatan belajarnya secara lebih mandiri; (2) memudahkan guru memilih dan menyusun bahan ajar; (3) membantu memudahkan guru menentukan kegiatan belajar dan media pembelajaran; (4) memudahkan guru mengadakan penilaian.

Dalam Permendiknas RI No. 52 Tahun 2008 tentang Standar Proses disebutkan bahwa tujuan pembelajaran memberikan petunjuk untuk memilih isi mata pelajaran, menata urutan topik-topik, mengalokasikan waktu, petunjuk dalam memilih alat-alat bantu pengajaran dan prosedur pengajaran, serta menyediakan ukuran (standar) untuk mengukur prestasi belajar siswa.

B . Bagaimana Merumuskan Tujuan Pembelajaran?

Seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran, saat ini telah terjadi pergeseran dalam perumusan tujuan pembelajaran. W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) mengemukakan pada masa lampau guru diharuskan menuliskan tujuan pembelajarannya dalam bentuk bahan yang akan dibahas dalam pelajaran, dengan menguraikan topik-topik atau konsep-konsep yang akan dibahas selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Tujuan pembelajaran pada masa lalu ini tampak lebih mengutamakan pada pentingnya penguasaan bahan bagi siswa dan pada umumnya yang dikembangkan melalui pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered). Namun seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran, tujuan pembelajaran yang semula lebih memusatkan pada penguasaan bahan, selanjutnya bergeser menjadi penguasaan kemampuan siswa atau biasa dikenal dengan sebutan penguasaan kompetensi atau performansi. Dalam praktik pendidikan di Indonesia, pergeseran tujuan pembelajaran ini terasa lebih mengemuka sejalan dengan munculnya gagasan penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Selanjutnya, W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) menegaskan bahwa seorang guru profesional harus merumuskan tujuan pembelajarannya dalam bentuk perilaku siswa yang dapat diukur yaitu menunjukkan apa yang dapat dilakukan oleh siswa tersebut sesudah mengikuti pelajaran.

Berbicara tentang perilaku siswa sebagai tujuan belajar, saat ini para ahli pada umumnya sepakat untuk menggunakan pemikiran dari Bloom (Gulo, 2005) sebagai tujuan pembelajaran. Bloom mengklasifikasikan perilaku individu ke dalam tiga ranah atau kawasan, yaitu: (1) kawasan kognitif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek intelektual atau berfikir/nalar, di dakamnya mencakup: pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), penguraian (analysis), memadukan (synthesis), dan penilaian (evaluation); (2) kawasan afektif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya, di dalamnya mencakup: penerimaan (receiving/attending), sambutan (responding), penilaian (valuing), pengorganisasian (organization), dan karakterisasi (characterization); dan (3) kawasan psikomotor yaitu kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot (neuronmuscular system) dan fungsi psikis. Kawasan ini terdiri dari : kesiapan (set), peniruan (imitation, membiasakan (habitual), menyesuaikan (adaptation) dan menciptakan (origination). Taksonomi ini merupakan kriteria yang dapat digunakan oleh guru untuk mengevaluasi mutu dan efektivitas pembelajarannya.

Dalam sebuah perencanaan pembelajaran tertulis (written plan/RPP), untuk merumuskan tujuan pembelajaran tidak dapat dilakukan secara sembarangan, tetapi harus memenuhi beberapa kaidah atau kriteria tertentu. W. James Popham dan Eva L. Baker (2005)Â menyarankan dua kriteria yang harus dipenuhi dalam memilih tujuan pembelajaran, yaitu: (1) preferensi nilai guru yaitu cara pandang dan keyakinan guru mengenai apa yang penting dan seharusnya diajarkan kepada siswa serta bagaimana cara membelajarkannya; dan (2) Â analisis taksonomi perilaku sebagaimana dikemukakan oleh Bloom di atas. Dengan menganalisis taksonomi perilaku ini, guru akan dapat menentukan dan menitikberatkan bentuk dan jenis pembelajaran yang akan dikembangkan, apakah seorang guru hendak menitikberatkan pada pembelajaran kognitif, afektif ataukah psikomotor.

Menurut Oemar Hamalik (2005) bahwa komponen-komponen yang harus terkandung dalam tujuan pembelajaran, yaitu (1) perilaku terminal, (2) kondisi-kondisi dan (3) standar ukuran. Hal senada dikemukakan Mager (Hamzah B. Uno, 2008) bahwa tujuan pembelajaran sebaiknya mencakup tiga komponen utama, yaitu: (1) menyatakan apa yang seharusnya dapat dikerjakan siswa selama belajar dan kemampuan apa yang harus dikuasainya pada akhir pelajaran; (2) perlu dinyatakan kondisi dan hambatan yang ada pada saat mendemonstrasikan perilaku tersebut; dan (3) perlu ada petunjuk yang jelas tentang standar penampilan minimum yang dapat diterima.

Berkenaan dengan perumusan tujuan performansi, Dick dan Carey (Hamzah Uno, 2008) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran terdiri atas: (1) tujuan harus menguraikan apa yang akan dapat dikerjakan atau diperbuat oleh anak didik; (2) menyebutkan tujuan, memberikan kondisi atau keadaan yang menjadi syarat yang hadir pada waktu anak didik berbuat; dan (3) menyebutkan kriteria yang digunakan untuk menilai unjuk perbuatan anak didik yang dimaksudkan pada tujuan

Telah dikemukakan di atas bahwa tujuan pembelajaran harus dirumuskan secara jelas. Dalam hal ini Hamzah B. Uno (2008) menekankan pentingnya penguasaan guru tentang tata bahasa, karena dari rumusan tujuan pembelajaran itulah dapat tergambarkan konsep dan proses berfikir guru yang bersangkutan dalam menuangkan idenya tentang pembelajaran.

Pada bagian lain, Hamzah B. Uno (2008) mengemukakan tentang teknis penyusunan tujuan pembelajaran dalam format ABCD. A=Audience (petatar, siswa, mahasiswa, murid dan sasaran didik lainnya), B=Behavior (perilaku yang dapat diamati sebagai hasil belajar), C=Condition (persyaratan yang perlu dipenuhi agar perilaku yang diharapkan dapat tercapai, dan D=Degree (tingkat penampilan yang dapat diterima)

C. Simpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1. Seorang guru dalam merencanakan pembelajaran dituntut untuk dapat merumuskan tujuan pembelajaran secara tegas dan jelas.
2. Perumusan tujuan pembelajaran dapat memberikan manfaat tertentu bagi guru maupun siswa
3. Saat ini telah terjadi pergeseran dalam merumuskan tujuan pembelajaran dari penguasaan bahan ke penguasan performansi.
4. Tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan.
5. Tujuan pembelajaran seyogyanya dirumuskan secara jelas, yang didalamnya mencakup komponen: Audience, Behavior, Condition dan Degree

Merumuskan Tujuan Pembelajaran?

Merumuskan Tujuan Pembelajaran?
Seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran, saat ini telah terjadi pergeseran dalam perumusan tujuan pembelajaran. W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) mengemukakan pada masa lampau guru diharuskan menuliskan tujuan pembelajarannya dalam bentuk bahan yang akan dibahas dalam pelajaran, dengan menguraikan topik-topik atau konsep-konsep yang akan dibahas selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Tujuan pembelajaran pada masa lalu ini tampak lebih mengutamakan pada pentingnya penguasaan bahan bagi siswa dan pada umumnya yang dikembangkan melalui pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered). Namun seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran, tujuan pembelajaran yang semula lebih memusatkan pada penguasaan bahan, selanjutnya bergeser menjadi penguasaan kemampuan siswa atau biasa dikenal dengan sebutan penguasaan kompetensi atau performansi.
Dalam praktik pendidikan di Indonesia, pergeseran tujuan pembelajaran ini terasa lebih mengemuka sejalan dengan munculnya gagasan penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Kendati demikian, di lapangan kegiatan merumuskan tujuan pembelajaran seringkali dikacaukan dengan perumusan indikator pencapaian kompetensi. Sri Wardani (2008) bahwa tujuan pembelajaran merupakan target pencapaian kolektif, karena rumusan tujuan pembelajaran dapat dipengaruhi oleh desain kegiatan dan strategi pembelajaran yang disusun guru untuk siswanya. Sementara rumusan indikator pencapaian kompetensi tidak terpengaruh oleh desain ataupun strategi kegiatan pembelajaran yang disusun guru, karena rumusannya lebih bergantung kepada karakteristik Kompetensi Dasar yang akan dicapai siswa. Di samping terdapat perbedaan, keduanya memiliki titik persamaan yaitu memiliki fungsi sebagai acuan arah proses dan hasil pembelajaran.
Terlepas dari kekacauan penafsiran yang terjadi di lapangan, yang pasti bahwa untuk merumuskan tujuan pembelajaran tidak dapat dilakukan secara sembarangan, tetapi harus memenuhi beberapa kaidah atau kriteria tertentu. W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) menegaskan bahwa seorang guru profesional harus merumuskan tujuan pembelajarannya dalam bentuk perilaku siswa yang dapat diukur yaitu menunjukkan apa yang dapat dilakukan oleh siswa tersebut sesudah mengikuti pelajaran. Selanjutnya, dia menyarankan dua kriteria yang harus dipenuhi dalam memilih tujuan pembelajaran, yaitu: (1) preferensi nilai guru yaitu cara pandang dan keyakinan guru mengenai apa yang penting dan seharusnya diajarkan kepada siswa serta bagaimana cara membelajarkannya; dan (2) analisis taksonomi perilaku; dengan menganalisis taksonomi perilaku ini, guru akan dapat menentukan dan menitikberatkan bentuk dan jenis pembelajaran yang akan dikembangkan, apakah seorang guru hendak menitikberatkan pada pembelajaran kognitif, afektif ataukah psikomotor.
Berbicara tentang taksonomi perilaku siswa sebagai tujuan belajar, saat ini para ahli pada umumnya sepakat untuk menggunakan pemikiran dari Bloom (Gulo, 2005) sebagai tujuan pembelajaran, yang dikenal dengan sebutan taksonomi Bloom (Bloom’s Taxonomy).
Menurut Bloom perilaku individu dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) ranah, yaitu:
1. Ranah kognitif; ranah yang berkaitan aspek-aspek intelektual atau berfikir/nalar, di dalamnya mencakup: pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), penguraian (analysis), memadukan (synthesis), dan penilaian (evaluation);
2. Ranah afektif; ranah yang berkaitan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya, di dalamnya mencakup: penerimaan (receiving/attending), sambutan (responding), penilaian (valuing), pengorganisasian (organization), dan karakterisasi (characterization); dan
3. Ranah psikomotor; ranah yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot (neuronmuscular system) dan fungsi psikis. Ranah ini terdiri dari : kesiapan (set), peniruan (imitation), membiasakan (habitual), menyesuaikan (adaptation) dan menciptakan (origination). Taksonomi ini merupakan kriteria yang dapat digunakan oleh guru untuk mengevaluasi mutu dan efektivitas pembelajarannya.
Dalam setiap aspek taksonomi terkandung kata kerja operasional yang menggambarkan bentuk perilaku yang hendak dicapai melalui suatu pembelajaran. Untuk lebih jelasnya, dalam tabel berikut disajikan contoh kata kerja operasional dari masing-masing ranah.
Merujuk pada pemikiran Bloom di atas, tampak bahwa tujuan pembelajaran seyogyanya dapat mencakup seluruh ranah perilaku individu. Artinya, tidak hanya sebatas pencapaian perubahan perilaku kognitif atau intelektual semata, yang hingga ini tampaknya masih bisa ditemukan dalam praktik pembelajaran di Indonesia.
Menurut Oemar Hamalik (2005) bahwa komponen-komponen yang harus terkandung dalam tujuan pembelajaran, yaitu (1) perilaku terminal, (2) kondisi-kondisi dan (3) standar ukuran. Hal senada dikemukakan Mager (Hamzah B. Uno, 2008) bahwa tujuan pembelajaran sebaiknya mencakup tiga komponen utama, yaitu: (1) menyatakan apa yang seharusnya dapat dikerjakan siswa selama belajar dan kemampuan apa yang harus dikuasainya pada akhir pelajaran; (2) perlu dinyatakan kondisi dan hambatan yang ada pada saat mendemonstrasikan perilaku tersebut; dan (3) perlu ada petunjuk yang jelas tentang standar penampilan minimum yang dapat diterima.
Berkenaan dengan perumusan tujuan yang berorientasi performansi, Dick dan Carey (Hamzah Uno, 2008) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran terdiri atas: (1) tujuan harus menguraikan apa yang akan dapat dikerjakan atau diperbuat oleh anak didik; (2) menyebutkan tujuan, memberikan kondisi atau keadaan yang menjadi syarat yang hadir pada waktu anak didik berbuat; dan (3) menyebutkan kriteria yang digunakan untuk menilai unjuk perbuatan anak didik yang dimaksudkan pada tujuan
Masih berkenaan dengan perumusan tujuan pembelajaran, Hamzah B. Uno (2008) menekankan pentingnya penguasaan guru tentang tata bahasa, karena dari rumusan tujuan pembelajaran itulah dapat tergambarkan konsep dan proses berfikir guru yang bersangkutan dalam menuangkan idenya tentang pembelajaran.
Pada bagian lain, Hamzah B. Uno (2008) mengemukakan tentang teknis penyusunan tujuan pembelajaran dalam format ABCD. A=Audience (petatar, siswa, mahasiswa, murid dan sasaran didik lainnya), B=Behavior (perilaku yang dapat diamati sebagai hasil belajar), C=Condition (persyaratan yang perlu dipenuhi agar perilaku yang diharapkan dapat tercapai, dan D=Degree (tingkat penampilan yang dapat diterima).
Contoh rumusan tujuan pembelajaran dalam perkuliahan mata kuliah Kurikulum dan Pembelajaran. Setelah mengikuti kegiatan perkuliahan diharapkan:
“Mahasiswa dapat menjelaskan minimal tiga prinsip dalam kegiatan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan”
Mahasiswa= Audience
Menjelaskan= Behavior
Prinsip dalam kegiatan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan = Condition
Minimal tiga prinsip= Degree
Kegiatan merumuskan tujuan pembelajaran pada dasarnya merupakan otoritas guru sepenuhnya, namun seiring dengan penerapan konsep pembelajaran demokratis dan pembelajaran partisipatif, maka dalam merumuskan tujuan pembelajaran, selain memperhatikan tuntutan kurikulum yang berlaku, seyogyanya guru dapat melibatkan siswa didalamnya. Keterlibatan siswa dalam merumuskan tujuan pembelajaran memungkinkan siswa untuk dapat lebih termotivasi dan lebih fokus mengikuti setiap kegiatan belajar dan pembelajarannya. Dalam hal ini, guru dituntut untuk memiliki keterampilan mengharmonisasikan untuk mempertemukan tujuan-tujuan pembelajaran sebagaimana digariskan dalam kurikulum dengan tuntutan kebutuhan dan tujuan belajar siswa.
C. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Seorang guru dalam merencanakan pembelajaran dituntut untuk dapat merumuskan tujuan pembelajaran secara tegas dan jelas.
2. Perumusan tujuan pembelajaran dapat memberikan manfaat tertentu bagi guru maupun siswa
3. Saat ini telah terjadi pergeseran dalam merumuskan tujuan pembelajaran dari penguasaan bahan ke penguasan performansi.
4. Tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan yang spesifik, dinyatakan dalam bentuk perilaku atau penampilan, dan diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan.
5. Tujuan pembelajaran adalah tercapainya perubahan perilaku yang menyeluruh, didalamnya tercakup perubahan perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor.
6. Tujuan pembelajaran seyogyanya dirumuskan secara jelas, dengan memperhatikan kaidah-kaidah tertentu.
Sumber:
Fitriana Elitawati .2002. Manfaat Tujuan Dalam Proses Belajar Mengajar. online : http://www.infodiknas.com/manfaat-tujuan-pembelajaran-khusus-dalam-proses-belajar-mengajar/. diakses 15 September 2009
Hamzah B. Uno.2008. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Nana Syaodih Sukmadinata. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Omar Hamalik.2005. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Bandung: Bumi Aksara
Permendiknas RI No. 52 Tahun 2008 tentang Standar Proses
Sri Wardani (2008). Perbedaan Indikator Pencapaian Kompetensi dan Tujuan Pembelajan, on line: http://p4tkmatematika.org/2008/10/perbedaan-indikator-pencapaian-kompetensi-dan-tujuan-pembelajaran-oleh-drasri-wardhani-mpd/, diakses 15 September 2009.
W. James Popham dan Eva L. Baker.2005. Teknik Mengajar Secara Sistematis (Terj. Amirul Hadi, dkk). Jakarta: Rineka Cipta.
W. Gulo. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Grasindo.

Perumusan tujuan pembelajaran

k.cTUJUAN PEMBELAJARAN
Salamah/NIM 0708218
A. Pendahuluan
Secara filosofis tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup. Pentingnya tujuan dalam proses pendidikan sama hal pentingnya pendidikan dalam proses kehidupan. Mungkin tidak ada tujuan pendidikan bagi orang yang tidak memiliki tujuan hidup. Tanpa adanya tujuan yang jelas seperti dikatakan Davies (1976:73) semua perencanaan itu bagaikan mimpi yang tak mungkin dilakukan.
Tujuan pendidikan menggambarkan tentang idealisme, cita-cita keadaan individu atau masyarakat yang dikehendaki. Karenanya tujuan merupakan salah satu hal yang penting dalam kegiatan pendidikan, sebab tidak saja memberikan arah kemana harus dituju, tetapi juga memberikan arah ketentuan yang pasti dalam memilih materi, metode, alat/media, evaluasi dalam kegiatan yang dilakukan.
Dengan sebuah rumusan tujuan pendidikan, maka proses pendidikan akan dengan mudah dinilai/diukur tingkat kebehasilannya. Keberhasilan pendidikan akan dengan mudah dan cepat dapat dilihat dari segi pecapai tujuan. Dengan tujuan juga mempermudah menyusun/menetapkan materi, metode dan alat atau media yang digunakan dalam proses pendidikan.

B. Konsep, Fungsi dan Sumber Tujuan Pendidikan

1. Konsep Tujuan Pendidikan
Menurut Zais (1976:439) komponen kurikulum adalah:







Tujuan adalah merupakan komponen utama yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum. Zais (1976:297) menegaskan bahwa sebagai komponen dalam kurikulum, tujuan merupakan bagian yang paling sensitif, sebab tujuan bukan hanya akan mempengaruhi bentuk kurikulum tetapi juga secara langsung merupakan fokus dari suatu program pendidikan.
Dalam beberapa leteratur pendidikan/kurikulum memakai beberapa istilah tujuan seperti purposes, aims, goals dan objectives untuk menunjukkan harapan pendidikan. Oliva menggunakan beberapa istilah seperti “out come, aim, end, purpose, function, goal dan objective”. Meskipun istilah-istilah ini dalam bahasa umum mempunyai persamaan, tetapi dalam bahasa pendidikan mempunyai perbedaan yang bermakna. Out come mengarah kepada harapan akhir secara umum. Sedangkan “aims” sama dengan “end”, purpose, function dan univesal goal”. Tujuan pendidikan ini sangat luas. Biasanya merupakan pernyataan tujuan pendidikan umum, yang dapat dipakai sebagai petunjuk pendidikan seluruh negara tersebut.
Beberapa istilah tujuan yang menggambarkan pada tingkat yang berbeda-beda, seperti: Aims yang menunjukkan arah umum pendidikan. Secara ideal, aims merefleksikan suatu tingkat tujuan pendidikan berdasarkan pemikiran filosofis dan psikologis masyarakat (Miller dan Seller, 1985: 175 dalam Mohammad Ansyar 1989: 93). Dengan perkataan lain aims adalah statemen tentang hasil kehidupan yang diharapkan (expected life outcomes) berdasarkan skema nilai filsafar hidup (Boudy, 1971:13). Menurut Zais, (1976:298) aims untuk tujuan pendidikan jangka panjang yang digali dari nilai-nilai filsafat suatu Bangsa.
Zais menjelaskan tujuan kurikulum (aim) merupakan pernyataan yang melukiskan keidupan yang diharapkan, tujuan atau hasil yang didasarkan pada pandangan filsafat dan tidak langsung berhubungan dengan dengan tujuan sekolah. Tujuan ini mungkin dapat dicapai setelah seseorang menyelesaikan pendidikan. Barangkali aims ini dapat disamakan dengan “tujuan pendidikan nasional” di Indonesia, karena pada tujuan pendidikan nasional ini dinyatakan keinginan bangsa Indonesia untuk mencapai suatu hasil pendidikan yang berlandasakan filsafat hidup bangsa Indonesia yang bernama Pancasila. Tujuan jenis ini tidak berkaitan langsung dengan hasil pendidikan di sekolah atau hasil proses belajar mengajar dalam ruang-ruang kelas.
Aim merupakan target yang pencapaiannya jauh dari situasi sekolah dan hasilnya mungkin jauh setelah proses belajar-mengajar di sekolah selesai. Contohnya untuk menjadikan manusia yang memiliki rasa tanggung jawab pada negara, atau manusia yang sehat jasmani dan rohani, berbudi pekerti luhur, mandiri dan lain-lain. Dan ini hanya mungkin dapat dicapai setelah anak menyelesaikan beberapa tingkatan pendidikan formal, informal dan bahkan mungkin non formal. Untuk mencapai tujuan umum “aims” perlu ditentukan pula yang lebih spesifik dari aims tersebut yang biasa dinamakan dengan goals.
Goals merupakan tujuan antara yang terletak antara aims dan objectives. Yang tersebut terakhir adalah tujuan yang dicapai sebagai hasil belajar dalam ruang-ruang kelas sekolah (Miller dan Seller, 1985: 179) dengan perkataan lain, goals adalah hasil proses belajar menurut suatu sistem sekolah (Zais, 1976:306). Goals lebih umum dari objectives dan bukan merupakan hasil langsung proses belajar dalam ruang kelas dan untuk mencapainya memerlukan seperangkat objectives. Contohnya antara lain adalah kemampuan berpikir analitik dan berpikir kritis, mengapresiasi dan mengamalkan ajaran agama Islam dan lain sebagainya. Barangkali di Indonesia goals ini dapat disamakan dengan tujuan kurikulum sekolah atau tujuan institusional.
Tingkat tujuan yang lebih rendah dari goals dalah objectives yaitu tujuan suatu unit atau pokok bahasan yang lebih spesifik yang merupakan hasil belajar dalam ruang-ruang kelas sekolah. Pada tingkat ini, kita berbicara tentang kemungkinan pemakaian objectives tingkah laku (behavioral objectives) yang menunjukkan tingkah laku yang eksplisit yang dimiliki siswa setelah mengikuti suatu pelajaran. Dengan perkataan lain objective adalah hasil belajar siswa dalam kelas, yaitu hasil proses belajar mengajar dalam kelas atau kegiatan belajar mengajar setiap haris sebagai hasil implentasi kurikulum. Contohnya: siswa mengusasi prinsip-prinsip dasar ilmu kimia, siswa dapat menyelesaikan 4 soal dari 5 soal persamaan kuadrat dan lain-lain.
Menurut Muhammad Ansyar (1989: 94) Marger (1962) adalah salah seorang yang paling gigih menekankan penting ditetapkan tujuan tingkah laku ini. Dia mengemukakan bahwa tujuan tingkah laku harus mencakup tiga komponen: (1) tingkah laku yang diinginkan, (2) kondisi tertentu tempat tingkah laku itu terjadi, dan (3) tingkat untuk kerja tingkah laku itu.
Di Indonesia kita kenal tingkatan/hirarkis tujuan itu dalam beberapa istilah seperti Tujuan Pendidikan Nasional, Tujuan Institusional, Tujuan Kurikuler, dan Tujuan Instruksional Umum dan Khusus. (Depdikbud, 1984/1985:5)

2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan institusional/goal dan tujuan kurikuler dijabarkan lagi dalam tujuan pembelajaran, tujuan ini lebih konkret dan lebih operasional yang pencapaiannya dibebankan kepada tiap pokok bahasan yang terdapat dalam tiap bidang studi. Menurut Suryosubroto, (1990: 20-21) tujuan pembelajaran adalah rumusan secara terperinci apa saja yang harus dikuasai oleh peserta belajar sesudah ia melewati kegiatan instruksional yang bersangkutan dengan berhasil. Kita dapat membedakan dua macam tujuan pembelajaran, yaitu: (1) Tujuan Pembelajaran Umum (TPU), tujuan instruksional umum kata-katanya masih umum, belum dapat diukur. Contohnya Siswa memahami konsep zakat dalam ajaran agama Islam. (2) Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK). Rumusan tujuan ini ditujukan pada (siswa), dengan langsung dapat diketahui (diukur) pada setiap kegiatan pengajaran berlangsung, dengan kata dan sayrat-syarat tertentu. Seperti kata kerja operasional, mengandung satu tingkah laku, berorientasi pada siswa, dapat diukur. Contoh. Melalui demonstrasi dan latihan siswa dapat mempraktekkan shalat maghrib dengan benar dan tertib.
Menurut Kaber (1988:11) tujuan instruksional spesifik dapat ditarik dari sumber pokok:
a. dari tujuan umum, seluruh kegiatan sekolah
b. dari tema (organizing center), topik yang dipelajari
c. dari perkembangan keterampilan yang dipelajari secara kontinu, misalnya dalam bahasa.

Tujuan instruksional mengandung dua komponen yaitu komponen isi dan komponen proses. Komponen isi berfokus pada memperoleh fakta, konsep, prinsip-prinsip yang berhubungan dengan topik yang dipelajari. Sedangkan komponen proses menitik beratkan perhatian pada kegiatan, pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan topik. Jenis-jenis tujuan instruksional dapat digolongkan atas:
a. Tujuan yang berbetuk tingkah laku (behavioral objectives)
b. Tujuan yang berupa penampilan (peformance objective)
c. Tujuan yang bersifat mengungkapkan diri (expressive objectives)
d. Tujuan yang mengacu kepada ranah perilaku (domain refence objectives).

Dari sejumlah uraian tentang konsep tujuan tersebut secara garis besar yang dimaksud dengan tujuan adalah Suatu pernyataan atau rumusan tentang deskripsi tingkah laku atau kemampuan yang diharapkan dapat diperoleh dan dimiliki seseorang setalah melakkukan atau menyelesaikan kegiatan pendidikan/belajar (sesuai dengan hirarkisnya).
3. Fungsi Tujuan
Rumusan tujuan pendidikan yang tepat dapat berfungsi dan bermanfaat dalam kegiatan pengembangan kurikulum, minimal sebagai berikut:
1) Tujuan akan menjadi pedoman bagi disainer untuk menyusun kurikulum yang efektif, (Davies: 1976: 73, Pratt, 1980: 145) dengan demikian memberikan arah kepada para disainer kurikulum dalam pemilihan bahan pelajaran, yaitu bahan pelajaran yang menopang tercapainya tujuan pendidikan.
2) Tujuan merupakan pedoman bagi guru dalam menciptakan pengalaman belajar (Pratt, 1980: 145)
3) Tujuan memberikan informasi kepada siswa apa yang harus dipelajari (Pratt: 145, Davies: 73)
4) Tujuan merupakan patokan evaluasi mengenai keberhasilan program (proses belajar mengajar) (Pratt: 145, Daveis: 74)
5) Tujuan menyatakan kepada masyarakat tentang apa yang dikehendaki sekolah, apa yang hendak dicapai (Pratt: 145 – 146)

Dari uraian di atas jelas bahwa tujuan pendidikan merupakan patokan, pedoman orientasi bagi para pelaksana/pendesain pendidikan.

4. Sumber Tujuan
Para ahli kurikulum tampaknya agak susah membedakan antara sumber dan kriteria dalam penetapan tujuan. Smith, Stanley dan Shores (1957: 108-123) misalnya mengistilahkan dengan pengembangan prinsip/kriteria penetapan tujuan kurikulum, yaitu tiga kreteria yang berupa substantif, dan dua kriteria prosedural. Krieria substantif bagi penetapan tujuan adalah kebutuhan dasar anak-anak, kebutuhan sosial atau masyarakat, dan ide-ide demokrasi. Kriteria yang yang hampir sama diajukan oleh Tyler (1949) yakni studi tentang pelajar, studi tentang kehidupan masyarakat di luar sekolah, dan saran-saran dari ahli mata pelajaran. Lebih jauh Tyler menekankan pendapatnya bahwa filsafat dan psikologi belajar merupakan “saringan” atau kriteria bagi penetapan lebih lanjut tujuan-tujuan pendidikan tersebut. Zais (1976: 301-305) mengemukakan hal yang mirip dengan yang dikemukakan oleh kedua sumber di atas. Dia menamakannya sumber-sumber tujuan, yaitu sumber emperis mengenai studi tentang masyarakat dan pelajar; sumber filosofis, dan dan sumber yang berasal dari mata pelajaran.
Menurut Zais (1976:301) sumber-sumber tujuan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni sumber empirik, sumber filosofi, dan sumber bidang kajian atau subject matter. Sumber empirik mengacu kepada apa yang diinginkan oleh masyarakat, sumber filosofi merupakan kajian apa yang diisyaratkan (ought to be) untuk dicapai dalam suatu program pendidikan, dan sumber bidang kajian merupakan tujuan apa yang harus dicapai melalui kajian bidang studi.
Ketiga sumber yang digunakan dalam mengembangkan tujuan kemudian dikonstruksi dalam pola hirarkhi tujuan. Sumber empirik dan filosofi dikelompokkan dalam tujuan akhir (ends) atau tujuan pendidikan nasional, sedangkan sumber bidang kajian dikelompokkan ke dalam tujuan objectives (means) yang merupakan alat untuk mencapai tujuan akhir.
Semua penulis tersebut menekankan bahwa semua pengembang dan pendesain kurikulum hendaknya mengenal bahwa tujuan-tujuan bersumber dari asumsi-asumsi tentang pekajar, masyarakat dan ilmu pengetahuan. Menurut mereka tidak satupun dari ketiga sumber tersebut dapat dikesampingkan para ahli kurikulum. Dan amat penting sekali untuk saling menjaga keseimbangan antara ketiga sumber kurikulum tersebut.
Smith, Stanley dan Shores (1957) mengajukan juga kriteria lain bagi penetapan tujuan yaitu keterwakilan, kejelasan, keterpertahankan, konsistensi dan fisibilitas.

B. Perumusan Tujuan Pendidikan
1. Klasifikasi Tujuan Pendidikan
Broudy (dalam Zais, 1976: 307) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi empat kategore yang saling berkaitan. Pertama, tujuan pendidikan diarahkan pada pencapaian pola nilai utama. Nilai ini merupakan refleksi dari pandangan filsafat, yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap ketiga ciri tujuan pendidikan lainnya.
Kedua tujuan pendidikan menurut Broudy, adalah organisasi sosial yang lebih disukai. Ketiga peranan sosial yang lebih diinginkan, dan keempat gaya hidup yang lebih disenangi. (Zais, 1976:308)
Schubert (1986, 202-206) mengajukan empat tujuan pendidikan yaitu; (1)sosialisasi, (2)pencapaian, (3) pertumbuhan, dan (4)perubahan sosial. Sosialisasi merupakan tujuan yang harus dicapai anak didik agar mereka dapat hidup dengan baik dimasyarakat, dan dengan kebudayaannya.
Pencapaian atau prestasi perorangan biasanya diperlukan bagi anak-anak di negara industri dan post-industri, tempat prestasi merupakan gaya kehidupan yang hidup dimasyarakat.
Pertumbuhan personal anak bermula pada masa pendidikan progresive yang dipelopori John Dewey. Pendidikan dengan tujuan pertumbuhan muncul dalam beberapa versi, nama seperti pendidikan terbuka pada tahun 1960-an dan awal 70-an, pendidikan humanistik, 1950-an dan 1980-an. Tujuan pendidikan pertumbuhan personal memerlukan penyesuai kurikulum yang mengakomodir kebutuhan pribadi, bakat, minat, dan kemapuan anak yang berbeda-beda. Perubahan sosial, menurut aliran ini sekolah dapat dan harus mengusahakan perbaikan sosial (Muhammad Ansyar, 1989:102).
2. Klasifikasi Tujuan Pembelajaran
Oleh karena sukar menetapkan tingkat suatu tujuan yaitu, apakah itu pada tingkat tujuan pendidikan nasional (aims), atau pada tingkat sekolah, atau ruang kelas, maka Zais (1976: 308-309) mengajukan tiga kategore (fakta, keterampilan, dan sikap) biasa dipakai sebagai cara utama untuk menyusun tujuan kurikulum (goals) dan tujuan pembelajaran (objectives).
Fakta biasanya diartikan sebagai asimilasi yang dapat berupa unit-unit data, opini, atau konsep-konsep yang kompleks. Keterampilan adalah kemampan untuk melakukan sesuatu, termasuk proses seperti membaca, menulis, berpikir, kritis, berkomunikasi dan keterampilan fungsional lainnya. Sikap berkaitan dengan watak yang diinginkan atau perasaan yang timbul dari berbagai rangsangan, termasuk kecenderungan seperti kesukaan atau ketidaksukaan,, berminat atau tidak berminat dan lain-lain.
Klasifikasi tujuan yang lebih sistematis telah dikemukakan Bloom (1956) dan Krathwohl, Bloom dan Masia (1964) seperti tertera dalam Zais (1976: 304-310) Tanner dan Tanner (1975:121-131). Tujuan pendidikan dikalsifikasikan pada tiga ranah besar yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Proses kognitif diklasifikasikan ke dalam suatu urutan hirarkis, dari tingkat berpikir yang sederhana ke tingkat intelektual yang lebih kompleks:
1) Pengetahuan
2) Pemahaman
3) Aplikasi
4) Analisis
5) Sintesis
6) Evaluasi

Ranah afektif mencakup tujuan-tujuan yang berkaitan dengan demensi perasaan, tingkah laku, atau nilai, seperti apresiasi terhadap karya seni, berbudi pekerti luhur, dan lain-lain.
Ranah afektif dibagi menjadi lima tingkatan yang bergerak dari kesadaran yang sederhana menuju kekondisi di mana perasaan memegang peranan penting dalam mengontrol tingkah laku:
1) Menerima
2) Responsif
3) Menghargai
4) Organisasi
5) Karakteristik

Ranah psikomotor dibagi empat tingkatan, dari yang paling sederhana kepada tingkat yang paling kompleks, yaitu:
1) Observasi
2) Meniru
3) Praktek
4) Adaptasi.

Kegunaan taksonomi tujuan telah memberikan kntribusi yang besar terhadap penyempurnaan teknik evaluasi hasil kurikulum. Oleh karena itu, analisis tujuan-tujuan yang dikemukakan pada taksonomi membantu petugas kurikulum menjaga konsistensi serta menjaga keseimbangan tujuan antara berbagai ranah.

3. Kriteria Perumusan Tujuan Pembelajaran
Dalam pendahuluan telah dikemukakan betapa pentingnya tujuan pendidikan dalam perencanaan dan pengembangan kurikulum dan pengajaran. Tujuan merupakan dasar orientasi sekaligus sesuatu yang akan dicapai dalam semua program kegiatan pendidikan. Seperti dikatakan Hilda Taba dalam (Davies, 1976: 56) terdapat banyak hal yang terlibat dalam kegiatan kurikulum atau pengajaran, yaitu siswa, materi pengajaran, guru, kelas, dan varaisi-variasi aktivitas lain yang kompleks. Untuk mengikat kesemuanya itu agar dapat berjalan secara harmonis, tidak saling bertentangan diperlukan tujuan, penekanan yang konsisten, yang berfungsi mengikat dan menyatukan program-program kegiatan tersebut. Tanpa tujuan yang jelas mustahil kesemuanya itu dapat dilaksanakan dengan baik.
Kurikulum sekolah yang disusun bagaimanapun juga dimaksudkan agar dapat dilaksanakan dengan efektif dan efesien. Karenanya tujuan merupakan faktor yang paling menentukan, maka penyusunan tujuan-tujuan itu harus benar-benar dipertimbangkan dengan cermat. Hal itu mengingat bahwa tujuan yang disusun itu tidak dengan sendirinya pasti baik, jelas, dan teliti, sebagai contoh kita kadang menemukan kerepotan dalam menafsirkan suatu tujuan dalam kurikulum.
Menurut Kaber (1988:108) menetapkan tujuan merupakan proses analisis yang menuntut suatu keterampilan, keahlian tersendiri. Untuk itu perlu adanya suatu langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menganalisis suatu tujuan pendidikan/pengajaran. Langkah-langkah tersebut dijabarkannya sebagai berikut:
Mengidentifikasi Klasifikasi Menetapkan
Pentingnya jenis tujuan Tujuan

Penshahihan Mencek berdasar Spesifikasi Analisis
Tujuan kan kriteria Tujuan Tujuan
Merumuskan tujuan seperti dijelaskan sebelumnya harus runtun yaitu tujuan umum dijabarkan pada tujuan khusus. Selanjut tujuan khusus diteliti jenis-jenisnya, dinilai kepentingannya dan dicek berdasarkan kriteria, syarat-syarat tujuan lebih formal dan terinci, sehinga setiap komponen yang ada tidak terlampaui.
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan yang merupakan kriteria tujuan yang baik seperti berikut ini:
1. Tujuan harus selalu kosisten dengan tujuan tingkat di atasnya (Pratt, 1980:185). Tujuan-tujuan yang bersifat penjabaran dari suatu tujuan yang lebih tinggi jenjangnya harus sesuai atau tidak bertentangan dengan hal-hal yang diisayaratkan oleh tujuan tersebut. Misalnya tujuan instruksional yang dijabarkan langsung dari tujuan kurikuler harus mencerminkan tujuan kurikuler itu.
2. Tujuan harus tepat seksama dan teliti. Tujuan hanya berguna jika ia dirumuskan secara teliti dan tepat sehingga memungkinkan orang mempunyai kesamaan pengertian terhadapnya. Perumusan tujuan yang cermat akan memungkinkan kita untuk melaksanakannya dengan penuh kepastian. Ketelitian berhubungan dengan skope tujuan, walau tidak untuk menentukan berapa banyak harus terkandung materi pelajaran dalam suatu tujuan. Identifikasi tujuan khusus pencapaiannya akan terlihat dalam penampilan (peformance) atau bentuk tingkah laku. Perumusan dalam hal ini sering ditentukan oleh situasi. Prinsip umum tentang ketelitian perumusan tujuan adalah: nyatakan tujuan dengan seteliti mungkin untuk dapat menggambarkan secara jelas keluaran belajar dan memberi petunjuk kepada pembuat desain, guru dan penilai hasil (Pratt, 1980:185)
3. Tujuan harus diidentifikasikan secara spesifik yang menggambarkan keluaran belajar yang dimaksudkan. Tujuan yang dirumuskan harus menunjuk pada pengertian keluaran dari pada kegiatan. Tujuan yang menunjukkan tingkat kemampuan atau pengetahuan siswa merupakan maksud utama kurikulum. Akan tetapi jika ia tidak pernah mengidentifikasi keluarannya, ia bukanlah tujuan kurikulum yang kualifait (Pratt, 1980:184).
4. Tujuan bersifat relevan (Davies, 1976:17) dan berfungsi (Pratt,1980:186). Masalah kerelevansian berhubungan dengan persoalan personal dan sosial, atau masalah praktis yang dihadapi individu dan masyarakat. Memang harus diakui bahwa terdapat perbedaan pengertian tentang kerelevansian itu karena adanya perbedaan masalah dan kepentingan antara tiap individu dan masyarakat. Jadi kerelevansian itu berkaitan dengan pengertian untuk siapa dan kapan. Di samping relevan, tujuan pun harus berfungsi personal maupun sosial. Suatu tujuan dikatakan berfungsi personal jika ia memberi manfaat bagi individu yang belajar untuk masa kini dan masa akan datang, dan berfungsi sosial jika ia memberi mafaat bagi masyarakat di samping pelajar.
5. Tujuan harus mempunyai kemungkinan untuk dicapai. Tujuan yang dirumuskan harus memungkinkan orang, pelaksana kurikulum untuk mencapainya sesuai kemampuan yang ada. Masalah kemampuan itu berkaitan dengan masalah tenaga, tingkat sekolah, waktu, dana, skope materi, fasilitas yang tersedia, dan sebagainya. Perumusan tujuan yang terlalu muluk (karena terasa lebih ideal) dan melupakan faktor kemampuan atau realitas hanya akan berakibat tujuan itu tak tercapai. Suatu program kegiatan dikatakan efektif jika hasil yang dicapai dapat sesuai atau paling tidak, tidak terlalu jauh berbeda dengan perencanaan.
6. Tujuan harus memenuhi kriteria kepantasan worthwhilness (Davies, 1976:18). Pengertian “pantas” mengarah pada kegiatan memilih tujuan yang dianggap lebih memiliki potensi, bersifat mendidik, dan lebih bernilai. Memang agak sulit menentukan tujuan yang lebih pantas karena dalam hal ini orang bisa mengalami perbedaan kesepakatan pengertian. Secara umum kita boleh mengatakan bahwa kriteria kepantasan harus didasarkan pada pertimbangan objektif, dengan argumentasi yang objektif. Dalam hal ini Profesor Peter dalam (Davies, 1976:18) menyarankan tiga kriteria (a) aktivitas harus berfungsi dari waktu ke waktu, (b) aktivitas harus bersifat selaras dan seimbang dari pada bersaing, mengarah ke keharomonisan secara keseluruhan, dan (c) aktivitas harus bernilai dan sungguh-sungguh khususnya yang menunjang dan memajukan keseluruhan kualitas hidup.
Secara lebih khusus lagi terutama dalam merumuskan tujuan kurikulum Pratt (1980: 190) yang dukutip oleh Kaber (1988:109) mengemukakan ada tujuh kriteria yang harus dipenuhi dalam merumuskan tujuan kurikulum yang mengarah kepada tingkah laku, seperti berikut ini:
1. Menunjukkan hasil belajar yang spesifik.
2. Memperlihatkan konsistensi
3. Memperlihatkan ketepatan
4. Memperlihatkan kelayakan
5. Memperlihatkan fungsionalitas
6. Memperlihatkan signifikasi
7. Memperlihatkan keserasian

P E N U T U P
Tujuan pendidikan merupakan suatu elemen penting dalam pengembangan kurikulum. Tujuan pendidikan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam merancang kurikulum, terutama dalam memilih dan menetapkan materi, metode/proses dan menetapkan alat evaluasi. Tujuan juga sebagai alat untuk mengukur keberhasilan sebuah rancangan kurikulum.
Merumuskan tujuan Pendidikan Nasonal memang bukan pekerjaan yang mudah karena, akan menentukan arah bagi perkembangan bangsa itu selanjutnya. Untuk itu diperlukan keahlian dan kesadaran apa sebenarnya yang diinginkan/diharapkan oleh masyarakat bangsa itu. Bahkan itu tidak memadai manakala tidak dilengkapi dengan saringan sercara filosofis dan psikologis setiap keinginan tersebut, sehingga benar-benar berupa keinginan yang pantas dan sesuai dengan harkat dan martabat manusia ideal.
Seorang pengembang kurikulum harus benar-benar memahami sumber-sumber tujuan pendidikan yang akan ditetapkan dalam kurikulum, seperti kajian tentang anak didik, mayarakat diluar sekolah dan perkmbangan disiplin ilmu. Kesemua sumber itu kemudian direkonstruksi dalam sebuah rumusan yang pantas, konsisten, representatif, jelas, terpertahankan dan fisibility.
Demikianlah antara lain beberapa konsep tujuan, sumber fungsi serta kriteria yang perlu dipertimbangkan dan sekaligus dipenuhi dalam kegiatan perencanaan dan perumusan tujuan. Sudah tentu masih ada pertimbangan-pertimbangan lain yang juga menuntut perhatian yang belum tercakup di atas, untuk itu perlu kita diskusikan lagi demi untuk mecari sesuatu lebih sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Ansyar, Muhammad, (1988) Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Dirjen Dikti, Jakarta
Davies, Ivor K, (1976) Objectives In Curriculum Design, Megraw-Holl Book Company, London
Depdikbud, (1984/1985) Pengembangan Kurikulum dan Sistem Instruksional, Dirjen Dikti, Proyek Pengembangan Perguruan Tinggi, Jakarta
J. Galen Saylor. William M. Alexander dan Arthur J. Lewis, 1981 Curriculum Plaining for Better Teaching and Learning,
Kaber, Achacius, (1988) Pengembangan Kurikulum, Dirjen Dikti, Proyek Pengembangan Lembaga dan Tenaga Kependidikan, Jakarta
Oliva, Peter F, (1992) Developing The Curriculum, Third Edition, Harper Collin Publishers, New York
Pratt, David, (1980) Curriculum Design and Development, Harcout Brace Jovanovich, Inc, New York
Smith, B.O, Stanley, W.O. dan Shores, J.H., 1957, Fundamentals of Curriculum Development, Harcourt Brace and World, New York
Schubert, William H.1986, Curriculum: Perspective, Paradigm, and Possibility, Co;;ier Macmillan Publishers, London
Tanner, Daniel, dan Tanner, Laurel N, 1975, Curriculum Development: Theory into Pracyice, Macmillan Publishing Company, Inc., New York
Zais, Robert S, (9176) Curriculum Principle and Foundation, Thoms Ciowell Company, New York

Rabu, 23 Juni 2010

BAHAN ALAM DAN BAHAN SISA SEBAGAI MEDIA BELAJAR

BAHAN ALAM DAN BAHAN SISA SEBAGAI MEDIA BELAJAR
13 06 2010

Dalam dunia pendidikan, belajar merupakan salah satu hal pokok yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Belajar dalam pelaksanaannya haruslah menarik minat dan dianggap menyenangkan bagi peserta didik. Kegiatan belajar yang menyenangkan tersebut sebisa mungkin disamarkan dan melebur dalam kegiatan terpadu, yang menurut mereka (peserta didik), disebut dengan bermain.

Bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak, karena menyenangkan, bukan karena akan memperoleh hadiah atau pujian. Tetapi bagi anak, bermain adalah suatu kegiatan yang serius, namun mengasyikkan. Melalui aktivitas bermain, berbagai fantasinya, tujuannya dan pekerjaannya terujud. Dan tentu saja, sebagai guru, tujuan pembelajaran pun tercapai.

Saat anak bermain, semua indera anak bekerja aktif. Semua informasi ditangkap oleh indera anak, disampaikan ke otak sebagai rangsangan, sehingga sel-sel otak aktif dan berkembang.

Saya kira, paparan tentang hubungan belajar dan bermain sudah cukup. Sekarang marilah kita simak media apa sajakah yang tepat dan aman serta (tentu saja) menarik untuk bahan pembelajaran. Monggo.!

Media belajar yang baik adalah media yang dapat memberi kesempatan untuk mendapatkan dan memperkaya pengetahuan anak secara langsung. Pun dapat meningkatkan kemampuan berbahasa, berpikir kritis dan positif, membantu mengenal lingkungan dan kemampuan dirinya, menumbuhkan motivasi dan meningkatkan perhatian belajar anak.

Media tersebut harus memperhatikan hal-hal berikut :

* Menjaga keamanan dan keselamatan.
* Menjaga kesehatan / kebersihan.
* Pembuatan sesuai ukuran.
* Bisa untuk bereksplorasi anak.
* Dapat untuk bereksperimen anak.
* Mengembangkan imajinasi anak.
* Memotivasi anak untuk kreatif.
* Mengembangkan kemampuan sosial anak.
* Sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan anak.
* Berorientasi pada prinsip-prinsip perkembangan anak

Jean Pidget (1972 : p.27) menyebutkan bahwa “Anak seharusnya mampu melakukan percobaan dan penelitian sendiri. Guru, tentu saja, bisa menuntun anak-anak dengan menyediakan bahan-bahan yang tepat” Nah, bagi anda para guru, sengaja saya kutipkan pendapat diatas dan saya garis bawahi yaitu : bagian Guru, tentu saja, bisa menuntun anak-anak dengan menyediakan bahan-bahan yang tepat. :D

Anda dapat memilih media-media berikut ini : [Bahan cair/ bahan alam], [bahan pembangunan terstruktur], atau [bahan belajar mikro dan makro]. Silakan diklik saja. Tetapi yang akan kita bahas di sini adalah kategori pertama, yaitu BAHAN CAIR/ BAHAN ALAM. Macam-macam bahan cair untuk pembelajaran ini meliputi : air, pasir, cat jari, lumpur, tanah liat, play dough, krayon, cat, dll.

PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN

Saat ini komputer bukan lagi merupakan barang mewah, alat ini sudah digunakan di berbagai bidang pekerjaan seperti halnya pada bidang pendidikan. Pada awalnya komputer dimanfaatkan di sekolah sebagai penunjang kelancaran pekerjaan bidang
administrasi dengan memanfaatkan software Microsoft word, excel dan access.
Dengan masuknya materi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam kurikulum baru, maka peranan komputer sebagai salah satu komponen utama dalam TIK mempunyai posisi yang sangat penting sebagai salah satu media pembelajaran. Kutipan dari Kurikulum untuk Mata Pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi
· Visi mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi yaitu agar siswa dapat dan terbiasa menggunakan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi secara tepat dan optimal untuk mendapatkan dan memproses informasi dalam kegiatan belajar, bekerja, dan aktifitas lainnya sehingga siswa mampu berkreasi, mengembangkan sikap imaginatif, mengembangkan kemampuan eksplorasi mandiri, dan mudah beradaptasi dengan perkembangan baru di lingkungannya · Melalui mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi diharapkan siswa dapat terlibat pada perubahan pesat dalam kehidupan yang mengalami penambahan dan perubahan dalam penggunaan beragam produk teknologi informasi dan komunikasi.
Siswa menggunakan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk mencari, mengeksplorasi, menganalisis, dan saling tukar informasi secara efisien dan efektif. Dengan menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi, siswa akan dengan
cepat mendapatkan ide dan pengalaman dari berbagai kalangan. Penambahan kemampuan siswa karena penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi akan mengembangkan sikap inisiatif dan kemampuan belajar mandiri, sehingga siswa
dapat memutuskan dan mempertimbangkan sendiri kapan dan dimana penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi secara tepat dan optimal, termasuk apa implikasinya saat ini dan dimasa yang akan datang.

· Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) mencakup dua aspek, yaitu Teknologi Informasi dan Teknologi Komunikasi. Teknologi Informasi, meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi. Teknologi Komunikasi merupakan segala hal yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat yang satu ke lainnya. Karena itu, Teknologi Informasi dan Teknologi Komunikasi adalah suatu padanan yang tidak terpisahkan yang mengandung pengertian luas tentang segala kegiatan yang terkait dengan pemrosesan, manipulasi, pengelolaan, dan transfer/pemindahan informasi antar media.
· Secara khusus, tujuan mempelajari Teknologi Informasi dan Komunikasi adalah:
1. Menyadarkan siswa akan potensi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang terus berubah sehingga siswa dapat termotivasi untuk mengevaluasi dan mempelajari Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai dasar untuk belajar sepanjang hayat.
2. Memotivasi kemampuan siswa untuk bisa beradaptasi dan mengantisipasi perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi, sehingga siswa bisa melaksanakan dan menjalani aktifitas kehidupan seharihari secara mandiri dan lebih percaya diri.
3. Mengembangkan kompetensi siswa dalam menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk mendukung kegiatan belajar, bekerja, dan berbagai aktifitas dalam kehidupan seharihari.
4. Mengembangkan kemampuan belajar berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi, sehingga proses pembelajaran dapat lebih optimal, menarik, dan mendorong siswa terampil dalam berkomunikasi, terampil mengorganisasi informasi, dan terbiasa bekerjasama.
5. Mengembangkan kemampuan belajar mandiri, berinisiatif, inovatif, kreatif, dan bertanggungjawab dalam penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk pembelajaran, bekerja, dan pemecahan masalah seharihari.

Dengan melihat isi dari kurikulum tersebut, kita harus mengintegrasikan TIK dalam proses belajar mengajar di madrasah bukan hanya untuk mata pelajaran teknologi dan informasi saja. Melihat kondisi TIK pada saat ini dan perkembangannya di masa datang, kita harus mempersiapkan diri dan melakukan perencanaan yang matang dalam mengimplementasikan TIK di madrasah. Jika kita tidak memulainya sekarang maka madrasah sebagai salah satu institusi pendidikan selain sekolah yang berada dibawah Depdiknas akan tertinggal oleh sekolah lain. Jika ini terjadi, usaha kita akan semakin berat untuk mensejajarkan madrasah dengan sekolah lain. Di satu sisi, kita sedang berusaha mengejar ketertinggalan dalam mata pelajaran khususnya MIPA dan BahasaInggris, di sisi lain TIK akan membuat kita tertinggal semakin jauh. Mengamati Program Pengembagan TIK yang dilakukan Depdiknas Untuk mengejar ketertinggalan pemanfaatan TIK di sekolah dari negara lain, saat iniDepdiknas mempunyai program pengembangan TIK secara besarbesaran.
Ada tiga posisi penting di Depdiknas dalam program pengembangan TIK, yaitu:
1. Bidang kejuruan, TIK menjadi salah satu jurusan di SMK. Pengembangan TIK secara teknis baik hardware dan software masuk dalam kurikum pendidikan. Dibentuknya ICT center di seluruh Indonesia. Untuk menghubungkan sekolahsekolah di sekitar ICT center dibangun WAN (Wireless Area Network) Kota.
2. Pustekkom, sebagai salah satu ujung tombak dalam pengembangan TV pendidikan interaktif, Elearning dan ESMA. Program ini bertujuan untuk mempersempit jurang perbedaan kualitas pendidikan antara kota besar dengan daerah.
3. Jardiknas (Jejaring Pendidikan Nasional), bertujuan untuk mengintegrasikan kedua program di atas agar terbentuk sebuah jaringan yang menghubungkan semua sekolah di Indonesia. Sehingga diperkirakan di masa depan semua sekolah di Indonesia akan terkoneksi dengan internet. Melihat program yang diadakan oleh Depdiknas kita bisa memanfaatkan fasilitas tersebut karena bersifat terbuka.

Pengembangan TIK di Madrasah secara Mandiri
Kita belum terlambat untuk mempersiapkan diri dalam penguasaan TIK sebagai media pembelajaran di madrasah. Mulai saat ini pihak madrasah dan Majlis Madrasah harus membuat sebuah program pengembangan TIK secara menyeluruh. Ada beberapa poin untuk membuat suatu perencanaan pengembangan TIK, diantaranya:
1. Mempersatukan visi dan misi pengembangan TIK yang ingin dicapai antara Kepala sekolah, guru dan majlis madrasah.
2. Pembentukan Komite Teknologi (Organisasi Labkom) yang mandiri
3. Mengidentifikasi infrastruktur lembaga, baik hardware, software maupun sistem dan jaringan yang sudah dimiliki
4. Penentuan hardware dan software yang akan digunakan atau dikembangkan.
5. Mengidentifikasi SDM yang dimiliki
6. Menentukan bentuk pelatihan penguasaan TIK baik untuk guru dan staf lainnya.
7. Adanya Time schedule yang jelas untuk pencapaian program
8. Penentuan Investasi yang diperlukan secara berkala tiap tahun
9. Mengidentifikasi perkembangan software dan kurikulum baru
10. Mengadakan revisi perencanaan disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi.
Dengan perencanaan yang matang, kita bisa mengembangkan TIK secara bertahap di madrasah agar tidak tertinggal dari sekolah lain. Program yang dibuat haru dilaksanakan secara berkelanjutan meskipun terjadi pergantian kepala dan majilis madrasah. Pemanfaatan TIK Sebagai Media Pembelajaran TIK bukan merupakan teknologi yang berdiri sendiri, tetapi merupakan kombinasi dari hardware dan software.Ada hal penting yang harus diperhatikan dalam memanfaatkan TIK sebagai media pembelajaran yaitu hardware dan software yang tersedia dan jenis metode pembelajaran yang akan digunakan. Beberapa pemanfaatan TIK dalam pembelajaran diantaranya:
1. Presentasi
Presentasi merupakan cara yang sudah lama digunakan, dengan menggunakan OHP atau chart. Peralatan yang digunakan sekarang biasanya menggunakan sebuah komputer/laptop dan LCD proyektor. Ada beberapa keuntungan jika kita memanfaatkan TIK diantaranya kita bisa menampilkan animasi dan film, sehingga tampilannya menjadi lebih menarik dan memudahkan siswa untuk menangkap materi yang kita sampaikan. Software yang paling banyak digunakan
untuk presentasi adalah Microsoft Powerpoint. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan bahan presentasi,
diantaranya:
a. Jangan terlalu banyak tulisan yang harus ditampilkan.
b. Tulisan jangan terlalu kecil karena harus dilihat oleh banyak siswa.
c. Perbanyak memasukkan gambar dan animasi
d. Usahakan bentuk presentasi yang interaktif.
2. Demonstrasi
Demontrasi biasanya digunakan untuk menampilkan suatu kegiatan di depan kelas, misalnya eksperimen. Kita bisa membuat suatu film caracara melakukan suatu kegiatan misalnya cara melakukan pengukuran dengan mikrometer yang benar atau mengambil sebagian kegiatan yang penting. Sehingga dengan cara ini siswa bisa kita arahkan untuk melakukan kegiatan yang benar atau mengambil kesimpulan dari kegiatan tersebut.
Cara lain adalah memanfaatkan media internet, kita bisa menampilkan animasi yang berhubungan dengan materi yang kita ajarkan (meskipun tidak semuanya tersedia). Sebagai contoh untuk menampilkan arah vektor dari perkalian silang kita bisa mengakses internet dengan alamat

http://www.upscale.utoronto.ca/GeneralInterest/Harrison/Flash/ClassMechanics/

RightHandRule/RightHandRule.html
3. Virtual Experiment
Maksud dari virtual eksperimen disini adalah suatu kegiatan laboratorium yang dipindahkan di depan komputer. Anak bisa melakukan beberapa eksperimen dengan memanfaatkan software virtual eksperimen misalnya Crocodile Clips. Software ini bisa didownload di http://www.crocodileclips. com/s3_1.jsp , tetapi kita harus register dulu untuk mendapatkan active code yang berlaku untuk satu bulan.
Metode ini bisa digunakan jika kita tidak mempunyai laboratorium IPA yang lengkap atau digunakan sebelum melakukan eksperimen yang sesungguhnya.
4. Kelas virtual
Maksud kelas virtual di sini adalah siswa belajar mandiri yang berbasiskan web, misalnya menggunakan moodle. Saya berikan contoh bentuk kelas maya yang sedang kami kembangkan di MAN 2 Ciamis.Pada kelas maya ini siswa akan mendapatkan materi, tugas dan test secara online. Kita sebagai guru memperoleh kemudahan dalam memeriksa tugas dan menilai hasil ujian siswa. Terutama hasil ujian siswa akan dinilai secara otomatis.
Sebenarnya banyak bentuk pemanfaatan TIK lainnya yang dapat digunakan untuk membantu siswa dalam proses belajar mengajar. Tetapi semua itu tergantung kepada kita bagaimana cara memanfaatkannya.